Di satu sisi, penulis mewakili rakyat biasa berterima kasih dengan gerakan akademisi yang bersuara, satu persatu bahkan dari satu kampus diikuti kampus lain bak gelinding salju, menyuarakan keseriusan bahwa ada yang tidak beres dengan demokrasi di negeri ini. Menunjukan sebuah perhatian besar yang semestinya disyukuri sekaligus dievaluasi para pemangku kewenangan di negeri ini.
Di sisi lain, bermunculan pula pendapat-pendapat yang kontradiktif seolah menyayangkan aksi sivitas akademika tersebut. Yang setelah penulis telusuri, ada semacam kesimpulan pribadi dari memperbandingkan ragam opini yang mungkin ada baiknya dipublikasikan sebagai bahan telaah bersama.
Motif di Balik Petisi
Bermula dari petisi sivitas akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada Kamis (31/1), disusul Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dilanjut oleh civitas akademik Universitas Indonesia (UI) tepat pada Jumat (2/2), lalu civitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad) juga melakukan hal yang sama pada Sabtu (3/2) dengan menyuarakan substansi yang sama, agar penguasa mengembalikan demokrasi pada tempatnya, di jalur yang semestinya.
Sebagai bentuk kepedulian dan cinta, khususnya kepada Presiden Jokowi sebagai kepala negara, mereka memberikan masukan dan kritik yang membangun, agar Presiden Jokowi kembali ke jalan yang sesuai koridor etika.
Tidak lebih dan tanpa ada kepentingan lain, karena ini murni tanggung jawab dan amanah yang diemban mereka sebagai akademisi, sebagai perwakilan dari suara rakyat untuk menyuarakan kebenaran berdasarkan tanggung jawab moral yang mereka emban selaku akademisi di negeri ini.
Ikrar Nusa Bhakti (2024) dalam tulisannya di Kompas berjudul: "Ketika Kampus Mulai Bersuara", pemicu gerakan ini tentu bukan tanpa sebab. Para akademisi yang angkat bicara tersebut murni melaksanakan tanggung jawab moralnya selaku akademisi, yakni mengingatkan Jokowi agar kembali ke rel demokrasi sesuai yang diamanatkan reformasi politik total 1998, juga mengingatkan agar tidak melupakan etika dan moral politik.
Cidera etika inilah yang menjadi sorotan akademisi. Peran akademisi dengan wawasan dan keluasan ilmunya adalah menjadi kontrol atas penguasa agar tidak sampai jatuh pada tindakan memereteli demokrasi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang merupakan kejahatan yang melanggar demokrasi.
Siapakah Akademisi?
Seorang akademisi tidak mungkin tergesa-gesa dalam bereaksi. Seperti yang diungkapkan Hamid Awaludin (2024) di kolom Kompas, bahwa tradisi ilmiah berupa tesa antitesa sintesa sudah menjadi budaya sehari-hari mereka. Selain itu, kebiasaan cara berpikir yang runtut, rasanya sulit untuk menyimpulkan bahwa gerakan mereka hanya sekedar reaksi tanpa arti.
Pengajaran, penelitian pengabdian, sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Mereka bereaksi atas orientasi kebenaran semata. Mereka adalah pemeran kunci yang mengarahkan laju demokrasi yang semestinya. Mereka adalah pelaku dalam sejarah perubahan republik Indonesia. Terakhir, mereka tidak asal-asalan bereaksi selama tidak ada yang melampaui batas etika dan melecehkan standar moral yang diyakini.