Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Shoma

Wasis Solopos Angkatan XX

Pilkada 2020, Balada Martir Demokrasi Semu

Diperbarui: 6 Oktober 2020   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Grafiti yang berisi harapan masyarakat terkait penundaan Pilkada 2020 karena pandemi Covid-19 menghiasi tiang penyangga jalan layang bus transjakarta di Jalan Cildug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu (3/10/2020). (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

"Masa depan hanya bisa dibangun melalui dinamika saat ini. Setelah pandemi ini berakhir, pemerintahan-pemerintahan akan terus melanjutkan [...] mengobati collateral damage yang terjadi." -Jacques Rancire, Une Bonne Occasion? 

Saya sengaja mengutip esai karya filsuf Prancis Jacques Rancire sebagai pembuka wacana ini.

Bukan tanpa sebab, keputusan pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang disahkan oleh DPR RI menjadi UU Nomor 6 Tahun 2002 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada Selasa (14/7) telah memicu polemik di Tanah Air.

Sejalan dengan regulasi tersebut, Pilkada 2020 berlangsung di 270 daerah, meliputi sembilan pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota. Masa kampanye berlangsung 26 September-5 Desember, sebelum pemungutan suara digelar 9 Desember 2020 (Harian Kompas, 27 September 2020).

Wajar jika pagelaran politik elektoral itu mendapat kritik dari berbagai lini masyarakat. Contohnya saja, organisasi Nahdlatul Ulama hingga Muhammadiyyah telah meminta pemerintah untuk menunda Pilkada 2020.

Bukan tanpa sebab, hingga 17 September lalu, 117 dokter meninggal karena Covid-19. Di zona merah, rumah sakit rujukan makin banyak yang tak bisa menerima lagi pasien baru, sementara kurva pendemi terus menanjak.

Dalam beberapa kesempatan, pemerintah memberikan argumen-argumen mengapa Pilkada akan tetap dilaksanakan pada Desember esok. Beralasan untuk menjaga hak politik dan demokrasi, pemerintah malah melanggar hak untuk hidup yang dimiliki masyarakat.

Padahal hak kesehatan juga merupakan hak konstitusi orang banyak. Dengan hadir saat Pilkada, masyarakat akan semakin berpotensi terinfeksi Covid-19.

Mengatur protokol kesehatan secara serempak dan tegas di 270 daerah--dengan titik-titik TPS yang tersebar di beragam lokasi, adalah hal yang muskil mengingat banyaknya pemilih (baik Daftar Pemilih Tetap/DPT maupun Daftar Pemilih Khusus/DPK). Klaster baru dari Pilkada serentak 2020 pun tak bisa dihindari jika rencana ini tetap dilaksanakan.

Ilustrasi via mahalah.tempo.co/Yuyun Nurrachman

Tak berlebihan kiranya jika majalah Tempo edisi 29 September-4Oktober 2020 dalam salah satu tajuk rencana menyatakan "Memberikan hak konstitusi politik tapi melupakan hak kesehatan merupakan kejahatan besar." Adalah interpretasi hasil logika falasi atau cacat pikir yang ngawur jika pemerintah menyelenggarakan hajatan Pilkada serentak 2020 dengan tameng "demokrasi" hingga "konstitusi" yang tak lebih dari--saya menyebutnya sebagai, "demokrasi semu" atau pseudo-democracy.

Merujuk siniar Apa Kata Tempo, edisi 24 September 2020 tentang Pilkada Serentak 2020, pemerintah  berdalih tetap melaksanakan Pilkada 2020 karena pandemi ini tak diketahui kapan ujungnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline