Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Shoma

Wasis Solopos Angkatan XX

Di Mana Kita saat Afi Dinistakan?

Diperbarui: 20 Mei 2017   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Facebook Afi Nihaya Faradisa

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

-Pramoedya Ananta Toer

Saya adalah pelajar sekolah menengah. Berumur 15 tahun, dan izinkan saya berkisah terlebih dahulu.

Siang itu saya pikir adalah hari yang biasa-biasa saja. Saat bapak hendak berjalan menuju mobil dan membuka gagang pintu, tiba-tiba ia berkata, “Faktor yang mempengaruhi seseorang itu ada dua; bagaimana lingkungannya dan apa bacaannya,” Saya tak tahu persis apa maksudnya, namun setelah saya masuk ke dalam mobil, bapak melanjutkan, “Orang tua kalau tak membaca bisa-bisa ia kalah dengan yang muda, tetapi kalau yang muda malas membaca ia juga bisa kalah pula. Makanya, kamu harus terus membaca, agar tak kalah.” Rupanya hal ini yang jadi alasan bapak membebaskan buku apa yang hendak saya baca tanpa mengintervensi sekecil apa pun. Guru-guru saya di sekolah menengah kerap menegur saya dan orangtua saya, karena saya terkenal dengan bacaannya yang ‘beda dari yang lain’.

Berbicara tentang buku bacaan saya yang ‘beda dari yang lain’, mau tak mau harus membuat saya bercerita tentang kejadian pada siang itu. Siang itu bapak punya agenda bertemu dengan teman-temannya yang mengambil kuliah doktoral (S-3) di Jurusan Hukum Islam. Bapak mengajak saya, dan tentu saja bapak punya maksud lain, mengenalkan saya pada dunia para intelektual dengan segenap pergulatan pemikirannya. Bapak mengajak kawan-kawannya itu untuk sekadar santap siang di sebuah warung ayam goreng sembari bercakap-cakap santai. Siang itu kami semua makan dengan lahapnya, hingga ada yang menambah porsi nasi. Setelah semuanya habis terlahap, mulailah bapak memancing kawan-kawannya untuk bercakap-cakap santai. Dari percakapan itulah, saya dimantapkan dengan langkah pemikiran saya.

Salah seorang kawan bapak, yang kebetulan seorang dosen di Lombok, bertanya kepada saya, “Biasanya buku apa yang dibaca?” spontan saya menjawab, “Ya buku-buku pemikiran tokoh tentang ideologi, teologi, atau sastra baik klasik maupun kontemporer, itu favoritnya sih,”. Tiba-tiba, ibuk yang duduk di samping kawan bapak itu juga ikut menjawab, “Dia sukanya buku-buku kiri, padahal sudah banyak diperingatkan sama gurunya, sudah saya larang juga, tapi dianya ngeyel,” kata ibuk dengan ekspresi seolah-olah kewalahan mengatasi saya. 

Seorang kawan bapak tersebut lantas menimpali, “Jangan, Bu. Jangan dilarang. Biarkan anak mengeksplorasi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ia pikirkan. Tidak apa membaca buku kiri, itu baik. Malahan saya baru baca Karl Marx saat kuliah S-2, tetapi anak ibuk sudah membacanya saat duduk di bangku sekolah menengah. Ya, asal diimbangi saja. Tapi lanjutkan. Dia juga sudah baca karya-karya tentang Islam juga kan,” Katanya dengan mengacungkan jempol di hadapan muka saya.

Siang itu kami berbicara banyak hal. Kami membahas mulai dari KH. Wahid Hasyim yang sejak remaja sudah membaca Das Kapital, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan heterogen, Nietzsche dengan ide ‘Gott ist tot’-nya, dan komodifikasi agama sampai cara membakar ayam ala Timur Tengah. Hari itu saya nikmati sebagai hari yang luar biasa. Mungkin juga buat bapak, karena setelah itu bapak mengatakan, “Saya sengaja mengajak anak saya, biar bisa diskusi hal-hal yang dia suka dengan kawan-kawan saya. Saya ingin dia berpikiran Avant—grade(mendahului lainnya)Mengajak dia ke sini adalah hal yang tepat.”.

Saya bisa mengatakan bahwa dari berbagai kawan saya, hanya ada satu-dua yang bisa saya ajak diskusi tentang tema-tema yang saya minati. Salah dua kawan saya yang bisa saya andalkan kemampuannya adalah Fandy dan Arka. Saya kagum dengan mereka, mereka bisa berpikir kritis dan dapat mengejar capaian akademiknya dengan gemilang. Tidak dengan saya yang tidak pernah mencicipi peringkat sepuluh besar layaknya mereka. Saya dan Arka biasanya berdiskusi tentang teologi, begitu pula dengan Fandy, saya juga membicarakan teologi, namun dengan tema yang lebih luas lagi. Saya adalah orang yang totalitas. Ketika saya fokus terhadap suatu hal, tiada orang lain yang dapat mengubah fokus saya dari hal itu.

Dan fokus saya adalah pada literasi serta seluk-beluknya. Ketika ada salah seorang guru yang mengatakan Pramoedya adalah seorang Komunis dan karya-karyanya harus dijauhi bak barang haram nan menjijikkan, saya melawannya dengan meletakkan dua buku Pramoedya; Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Anak Semua Bangsa di meja saya saat beliau mengajar di kelas saya. Ketika kawan-kawan saya terus tekun belajar hingga tak mempedulikan lingkungan sosialnya hanya semata untuk ‘masa depannya’, saya adalah orang yang dengan tegas melawan mereka dengan menulis artikel Pramoedya, Kesalahan Pendidikan dan Mental Pegawai Negeri. Serta masih banyak lainnya pemberontakan saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline