Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan momen akbar politik dengan penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan untuk mencari pemimpin di suatu daerah. Bagi partai politik (Parpol) momentum ini adalah saat tepat untuk terlibat dalam kontestasi politik. Kader-kader terbaik partai akan diturunkan guna meraih simpati masyarakat pemilihnya.
Kader dengan kepribadian baik saja tidak cukup. Selain memiliki syarat personal, kader yang dicalonkan tentu harus memiliki daya tarik bagi pemilihnya. Calon yang laku dan diinginkan pemilih atau publik darling.
Tidak ada alasan bagi sebuah Parpol untuk diam apalagi berpangku tangan dalam mengikuti agenda Pilkada. Politik pasif bukanlah kepribadian sebuah partai politik. Partai politik tentu harus lebih peka serta responsif dalam menghadapi proses-proses demokrasi. Karena Parpol adalah salah satu representasi institusi politik.
Mesin politik harus dinyalakan. Alat-alat dan instrumen Parpol semua digerakkan. Pemahaman politik serta peniingkatan partisipasi pemilih menjadi tangung jawab Parpol dan segala organisasi turunannya. Lembaga penyelenggara adalah kepanitian yang bersifat fasilitator dan bukan pihak yang dibebani dengan peningkatan partisipai pemilih.
Demikian itu penting untuk dipahami oleh Parpol disamping sebagai tanggung jawab sosial dari institusi politiknya, termasuk juga sebagian dari strategi pengkaderan yang pada akhirnya bermuara pada aset parpol yaitu jumlah kader dan anggota yang dimiliki.
Partai yang cenderung memilih jalur pengkaderan instan seperti merekrut selebritis, tokoh masyarakat, tokoh agama maupun tokoh-tokoh lain yang memiliki basis kepercayaan tinggi di masyarakat, dalam jangka waktu tertentu memang sangat menguntungkan.
Strategi ini sangat tren digunakan di Indonesia khususnya pasca reformasi 1998. Berdirinya banyak partai politik baru pada masa ini memaksa partai harus lebih cepat merekrut anggota untuk diusung dalam kontestasi-kontestasi politik baik di legislatif juga ekskutif. Dengan strategi tersebut beberapa partai poitik mampu lolos dan eksis.
Sayangnya, seiring berjalan waktu tingkat pengetahuan politik atau literasi politik masyarakat ikut meningkat. Cara-cara instan demikian dicap sebagai institusi yang gagal dalam melakukan pengkaderan. Itu terbukti dengan banyaknya calon-calon pemimpin daerah di berbagai wilayah di Indonesia yang bukan berasal dari kader partai. Melainkan orang atau tokoh yang memiliki tingkat "selebritas" tinggi di masyarakat pemilihnya.
Partai tentu tak boleh kehabisan kader apalagi sampai ditinggal anggota. Membina kader loyal adalah tugas penting untuk diselesaikan guna menghindari politisi oportunis atau politikus kutu loncat yang selalu bergonta-ganti tumpangan.
Politikus kutu loncat dan kader politik instan cenderung memiliki dampak negatif bagi partai politik. Karakter seperti ini tidak menawarkan popularitas pada Parpol melainkan personal popularity atau popularitasnya sendiri. Artinya jika karakter tersebut berpindah tumpangan maka pemilih partai politik akan berkurang secara drastis karena mengikuti ke mana pujaannya berlabuh.
Partai politik tentu sangat tahu dengan kondisi seperti ini. Namun tak ada rotan akar pun jadi. Politik selalu melihat kesempatan. Orang-orang yang memiliki pengaruh cukup kuat di masyarakat sebisa mungkin akan ditarik untuk mendorong perolehan suara partai. Soal apakah dia tetap bertahan atau justru terseleksi dan bahkan berpindah adalah urusan belakang.