Krisis politik yanng melanda negeri jiran Malaysia masih berlanjut. Setelah "Langkah Sheraton" berhasil menggagalkan Anwar Ibrahim sebagai perdana menteri, imbas terhadap peta politik di negera itu seolah semakin berlarut-larut. Kekisruhan ini berawal dari konflik suksesi perdana menteri ke-9 Malaysia setelah Tun Mahathir Mohammad berencana mengajukan penguduran diri sebagai perdana menteri. Sebagaimana yang diketahui bahwa Tun M mencalonkan kembali dirinya sebagai perdana menteri dengan “tugas khusus” yaitu menjatuhkan perdana menteri petahana, Najib Razak dalam pemilu Malaysia 2018. Menurut Mahathir, perdana menteri Najib Razak sudah tidak layak menjadi perdana menteri karena terlibat dalam skandal korupsi terbesar di Malaysia yaitu 1MDB.
Agar tujuan menjadi perdana menteri tercapai, Mahathir harus bergabung dengan koalisi oposisi yang sebagai besar anti dengan politik etnis. Idealisme Mahathir tentang ketuanan melayu membuatnya memilih mendirikan partai baru Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM/BERSATU) bersama Muhyidin Yasin mantan wakil presiden partai UMNO. Konsekuensi lain yang harus diterima Mahathir adalah dia harus bekerja sama dengan mantan ‘anak didik’-nya yang juga eks-wakil presiden UMNO yaitu Anwar Ibrahim untuk mengalahkan Najib Razak dalam pemilu Malaysia 2013. Akhirnya, koalisi politik baru bernama Pakatan Harapan (PH) terbentuk dan berhasil mengakhiri koalisi Barisan Nasional (BN) pimpinan UMNO yang telah memerintah Malaysia selama hampir enam dekade.
Setelah menjadi perdana menteri Malaysia selama hampir dua tahun, Mahathir akhirnya mengajukan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri. Anwar Ibrahim, seorang tokoh reformis Malaysia digadang-gadang akan menggantikan Mahathir sebagai perdana menteri. Akan tetapi, suksesi perdana menteri Malaysia ke-9 tidak berjalan dengan mulus karena sebagian anggota parlemen koalisi Pakatan Harapan tidak mendukung Anwar sebagai perdana menteri dan memilih “melompat” dan membentuk sebuah koalisi politik baru Perikatan Nasional (PN) termasuk Muhyidin Yassin. Melalui beberapa sokongan dari UMNO dan partai PAS, koalisi ini berhasil membuat kabinet baru dengan suara mayoritas di parlemen dan Muhyidin Yassin sebagai perdana menteri. Kondisi ini secara otomatis membuat koalisi Pakatan Harapan (PH) terpecah menjadi beberapa partai kecil baru seperti Partai Pejuang Tanah Air (PEJUANG) pimpinan Mahathir yang menolak bekerja sama dengan UMNO, Partai Ikatan Demokratik Malaysia (MUDA) pimpinan Syed Saddiq yang juga merupakan mantan ketua sayap pemuda PPBM/BERSATU, dan Partai Warisan Sabah (WARISAN) pimpinan Shafie Apdal seorang mantan anggota UMNO. Sementara Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar Ibrahim, Partai Amanah Negara (AMANAH) dan Partai Aksi Demokratik (DAP) tetap berada di bawah satu koalisi Pakatan Harapan.
Seiring berjalannya waktu, koalisi Perikatan Nasional (PN) diterjang oleh banyak kritikan terutama dari Pakatan Harapan yang vokal melabel koalisi itu sebagai “mengkhinati rakyat” atau “kerajaan pintu belakang”. Kabinet Perikatan Nasional (PN) pimpinan Muhyidin Yassin tumbang setelah dia kehilangan mayoritas “sokongan” dari partai UMNO sebagai akibat dari kegagalan Muhyidin mengatasi pandemi COVID-19 di Malaysia. Koalisi Pakatan Harapan (PH) yang melihat peluang ini untuk mengangkat Anwar Ibrahim kembali harus “gigit jari” karena mayoritas suara dari koalisi Barisan Nasional (BN) dan Perikaan Nasional (PN) ternyata memilih Ismail Sabri Yaakob sebagai perdana menteri Malaysia ke-10. Sebagai informasi, Ismail Sabri Yaakob merupakan salah satu anggota partai UMNO yang memberikan “sokongan” kepada Muhyidin untuk menjadi perdana menteri tidak lama setelah Mahathir mengundurkan diri menjadi perdana menteri. Kabinet Ismail Sabri Yaakob kemudian menamakan kabinetnya sebagai Keluarga Malaysia untuk menghilangkan persepsi rakyat Malaysia dari citra koalisi Perikatan Nasional (PN) sebagai “penghianat rakyat” atau “pelompat”.
Ketiga koalisi utama yang ada di parlemen Malaysia yaitu : Barisan Nasional (BN), Perikatan Nasioanl (PN) dan Pakartan Harapan (PH) tidak hanya aktif bertanding di tingkat nasional saja, tetapi juga aktif dalam perebutan kursi parlemen yang ada di setiap negara bagian (negeri). Bukan tanpa alasan, ketiga koalisi ini harus bertarung sengit untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam persiapan menghadapi pemilu Malaysia tahun depan. Setiap Pilihan Raya Negeri (PRN) atau pilkada yang masih berlangsung di setiap negara bagian menjadi barometer sempurna untuk mengukur dan memutuskan langkah-langkah politik startegis yang harus diambil oleh setiap koalisi. Pilkada atau PRN negara bagian Johor baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di ranah politik Malaysia. Keterlibatan pemilih di atas usia 18 tahun untuk pertama kali dalam sejarah pemilu Malaysia disebut sebagai faktor kunci kemenangan dari setiap koalisi partai yang bertanding. Dikutip dari Berita Harian Online, jumlah calon pemilih baru yang berusia 18 tahun keatas adalah 749.731 orang dan akan meningkatkan jumlah calon memilih sekitar 28%.
Potensi 30% calon pemilih baru dalam Pilihan Raya Negeri (PRN) negara bagian Johor tentu tidak dapat disia-siakan begitu saja oleh ketiga koalisi besar partai politik Malaysia. Persaingan sengit dan psywar sering mewarnai media sosial menjelang pemungutan suara yang akan dilakukan pada tanggal 12 Maret 2022 bulan depan. Sebagai contoh, presiden partai PPBM (BERSATU) Muhyidin Yassin dan pengarah bidang komunikasi Wan Saiful Wan Jan secara terang-terangan berkampanye “UMNO dah kalah” dan melabel presiden UMNO Zahid Hamidi sebagai “klaster mahkamah”. Padahal, Zahid Hamidi sebagai presiden partai UMNO merupakan orang yang memberikan sokongan paling besar kepada koalisi Perikatan Nasional (PN) di parlemen pusat. Kampanye Muhyidin juga didukung oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang turut mendakwa Zahid Hamidi beserta koalisi UMNO dan Barisan Nasional (BN) sebagai “itik patah kaki”. Padahal, PAS dan UMNO masih menjalin koalisi dibawah bendera Muafakat Nasional (MN) dengan tagline Penyatuan Ummah untuk menandingi Pakatan Harapan (PH) pada pemilu Malaysia 2018 dengan tujuan dapat meningkatkan pemilih dari golongan Melayu-Islam.
Sementara itu, koalisi Pakatan Harapan (PH) pimpinan Anwar Ibrahim masih menggalang kekuatan dengan mengajak bekas partai politik pecahan koalisi Pakatan Harapan (PH) dalam slogan “kemah besar” dan “Pakatan Harapan Plus” (PH+). Walhasil, presiden partai Ikatan Demokaratik Malaysia (MUDA) Syed Saddiq merapat ke dalam koalisi baru itu demi mendapatkan kursi dalam pilkada (PRN) Johor. Tentu tidak mudah bagi partai PKR yang merupakan salah satu partai komponen koalisi Pakatan Harapan (PH) untuk menerima MUDA bertanding dengan memberikan beberapa kursi. Misalnya sayap pemuda PKR atau Angkatan Muda Keadilan (AMK) terlihat setengah hati untuk menerima MUDA ke dalam koalisi Pakatan Harapan. Dilansir dari Utusan Malaysia Digital, ketua AMK Pulau Pinang Fahmi Zainol memberikan pernyataan bahwa MUDA “seperti api dalam selimut”. Karena pernah menolak mentah-mentah tiga kursi parlemen negara bagian Johor yang diberikan koalisi Pakatan Harapan (PH) dari PKR kepada MUDA.
Persaingan yang melibatkan tiga koalisi partai politik besar di Malaysia dalam memperebutkan kursi parlemen negara bagian (Dewan Undangan Negeri) Johor secara eksplisit akan memberikan gambaran yang nyata terhadap pemilu Malaysia pada tahun 2023. Apakah kaum muda negara bagian Johor memiliki pandangan yang benar-benar MUDA? Atau memiliki pandangan konservatif ala UMNO dan PPBM? Semua akan terjawab pada tanggal 12 Maret 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H