Di Indonesia akhir-akhir ini problem utama sosial masyarakat yaitu tuntutan akan kesejahteraan ekonomi, dengan adanya keberadaan wakaf menjadi media yang sangat strategis untuk dimensi sosial kesejahteraan umat. Perkembangan sektor wakaf mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, diperkirakan pada tahun 2023 akan semakin meningkat. Wakaf sendiri merupakan ibadah dari ajaran Islam yang memiliki potensi besar dalam bidang kesejahteraan ekonomi serta kesejahteraan umat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan perekonomian masyarakat dapat dimanfaatkannya wakaf produktif.
Oleh karena itu dalam wakaf produktif dibutuhkan para nazir (pengelola wakaf) yang profesional atau ahli dalam bidangnya, agar wakaf yang ada dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya terhadap masyarakat. Di Indonesia menurut BWI (Badan Wakaf Indonesia) para nazir masih tergolong tradisional dan kurang profesional, hal ini menyebabkan kurang produktifnya pengelolaan suatu tanah atau harta wakaf. Permasalahan ini dibuktikan dengan banyaknya tanah wakaf yang terbengkalai dan tidak produktif yang seharusnya dikelola oleh nazir.
Nazir adalah pihak yang menerima harta wakaf dari wakif (pemberi wakaf) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukkan. Tugas nazir wakaf adalah mengadministrasi, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, serta membuat laporan secara berkala kepada menteri dan BWI (Badan Wakaf Indonesia) mengenai kegiatan perwakafan. Dalam mengembangkan wakaf tentunya nazir harus berpegang teguh terhadap rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Syariah (Allah). Hak nazir wakaf adalah mendapatkan imbalan bersih pengelolaan sebesar 10%. Nazir sangat berperan penting dalam pengembangan wakaf produktif karena nazir merupakan pihak yang dipercayakan oleh wakif, untuk mengembangkan harta wakaf yang sudah diwakafkan oleh pemberi wakaf. Wakif dapat menunjuk dirinya sendiri atau pihak lain untuk menjadi nazir atas harta yang diwakafkannya.
UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah mengatur persoalan nazhir dengan sangat rinci. Nadzir diatur dalam UU diantaranya membahas mengenai nadzir perorangan, organisasi atau badan hukum. Nazhir terbagi menjadi tiga jenis yaitu nazhir perorangan dan nazhir organisasi, untuk menjadi seorang nazhir harus memenuhi persyaratan. Syarat menjadi nazhir perorangan diantaranya warga negara Indonesia, Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Syarat untuk menjadi nazir organisasi syaratnya ialah pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perorangan, Organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. Dan nazir badan hukum syaratnya ialah pengurus Badan Hukum yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perorangan, badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam (UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 9-14).
Nazir tidak boleh menyalahgunakan harta wakaf, menjual harta wakaf, maupun mewariskan harta wakaf yang dikelolanya serta nazir harus melaporkan harta wakaf kepada badan pembuat akta wakaf. Selain itu nazir harus memiliki keahlian untuk mengelola harta wakaf tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan yang nantinya dapat digunakan untuk kemaslahatan umat dan meningkatkan perekonomian negara. Achmad Djunaidi menjelaskan bahwa parameter nadzir profesional adalah sebagai berikut, amanah (dapat dipercaya), shiddiq (jujur), fathanah (cerdas), dan tablig (transparan). Sedangkan sumber daya nadzir yang amanah diantaranya, terdidik dan tinggi moralitasnya, memiliki keterampilan yang unggul dan berdaya saing, memiliki kemampuan dalam melakukan pembagian kerja, dapat melaksanakan kewajiban serta memperoleh hak yang adil, serta memiliki standar operasional kerja yang jelas dan terarah.
Lembaga kenadziran memiliki peran sentral dalam pengelolaan harta wakaf secara umum. Oleh karena itu eksistensi dan kualitas SDM nadzir harus betul-betul diperhatikan. Maka dari itu, perlu adanya pelatihan atau sosialisasi terhadap nazir agar memiliki ilmu yang dibutuhkan untuk mengelola wakaf tersebut, agar wakaf yang ada dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Para nazir di Indonesia masih belum memiliki keahlian dan profesionalitas yang memadai untuk mengelola harta wakaf yang ada, maka dari itu Indonesia masih belum bisa menjadikan wakaf produktif sebagai instrumen peningkatan ekonomi umat.
Dapat disimpulkan bahwa nazir-nazir yang profesional sangat diperlukan di Indonesia untuk mengelola harta wakaf dengan sebaik mungkin. Untuk menjadi nazir yang profesional harus memiliki pola pengelolaan yang amanah, bisa mempertanggungjawabkan secara administratif kepada publik dan dikelola oleh pemimpin yang mempunyai kemampuan human skill, human tehnical, serta human relation. Maka dari itu menurut saya untuk menciptakan nazir yang profesional perlu ditanamkannya skill-skill kepada orang yang nantinya akan mengelola wakaf (nazir), diantaranya human skill, human tehnical, dan human relation. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan cara pendidikan atau memberikan sosialisasi terkait hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi nazir profesional agar dapat memberdayakan wakaf produktif agar dapat menjadi instrumen peningkatan ekonomi umat.
Shofy Shofiah
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Siliwangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H