Buku ini menjelaskan bahwa semua pengetahuan manusia dimulai dari pengalaman karena kognisi diaktifkan oleh objek yang memengaruhi indra kita. Namun, tidak semua pengetahuan berasal murni dari pengalaman. Sebagian pengetahuan mungkin berasal dari kemampuan kognisi itu sendiri, yang dikombinasikan dengan input indrawi. Hal ini mengarah pada konsep pengetahuan a priori, yang independen dari pengalaman, berbeda dengan pengetahuan empiris yang didasarkan pada pengalaman (a posteriori). Buku ini mengeksplorasi apakah pengetahuan bisa sepenuhnya independen dari pengalaman, dengan membedakan antara pengetahuan a priori murni (sepenuhnya bebas dari pengalaman) dan pengetahuan a priori tidak murni (sebagian berasal dari pengalaman).
Cara membedakan antara pengetahuan murni (a priori) dan pengetahuan empiris (a posteriori). Pengetahuan empiris didasarkan pada pengalaman dan tidak memiliki sifat kepastian atau universalitas mutlak, sedangkan pengetahuan a priori bersifat perlu dan berlaku secara universal. Sebuah proposisi yang memiliki kepastian atau universalitas mutlak tidak berasal dari pengalaman, melainkan dari kognisi a priori. Contoh dari matematika dan prinsip "Setiap perubahan harus memiliki sebab", sedangkan sebab pasti berhubungan dengan akibat. Hubungan ini biasanya dituliskan dalam Hukum dan berlaku secara universal. Selain itu, teks ini menekankan bahwa konsep-konsep tertentu, seperti ruang dan substansi, ada dalam kognisi kita secara a priori, terlepas dari pengalaman indrawi. Akhirnya, teks ini menekankan bahwa prinsip-prinsip a priori sangat penting untuk kepastian pengalaman itu sendiri.
Beberapa kognisi manusia melampaui kemungkinan pengalaman, melibatkan konsep-konsep tanpa objek yang sesuai dalam kenyataan. Penyelidikan transendental ini, seperti konsep Tuhan, kebebasan, dan keabadian, adalah inti dari metafisika. Berbeda dengan pengetahuan empiris, penyelidikan metafisik bergantung pada alasan murni, sering kali dilakukan tanpa memeriksa kemampuan alasan untuk melakukan penyelidikan tersebut. Hal ini seperti membangun pengetahuan tanpa dasar yang kokoh. Matematika memberikan pengetahuan a priori yang sah, bidang lain, seperti metafisika, sering kali melampaui batasnya tanpa dasar yang tepat. Hal ini dapat memunculkan bahaya jika hanya bergantung pada alasan tanpa memverifikasi dasarnya.
Penilaian analitis adalah penilaian di mana predikat sudah terkandung dalam konsep subjek (misalnya, "Semua benda memiliki ekstensi"), sedangkan penilaian sintetik melibatkan penambahan informasi baru yang tidak terkandung dalam konsep subjek (misalnya, "Semua benda berat"). Penilaian analitis tidak memerlukan pengalaman karena hanya didasarkan pada analisis konseptual. Sebaliknya, penilaian sintetik, terutama yang berasal dari pengalaman, memperluas pengetahuan kita dengan memasukkan predikat baru. Penilaian sintetik a priori, yang melampaui pengalaman, bergantung pada konsep yang tidak dapat dibenarkan melalui observasi empiris tetapi penting untuk pengetahuan spekulatif. Tujuan dari pengetahuan spekulatif a priori adalah untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dengan mensintesis konsep-konsep dengan cara yang tidak dapat disediakan oleh penilaian analitis saja.
Pada Matematika, penilaian selalu sintetik dan bukan analitis. Proposisi matematis, seperti "7 + 5 = 12," tidak dapat diturunkan hanya dari konsep angka-angka yang terlibat, karena jumlah tujuh dan lima tidak secara inheren mengungkapkan angka dua belas. Sebaliknya, proposisi-proposisi ini bergantung pada intuisi dan sintesis di luar analisis konseptual semata. Prinsip-prinsip geometri murni adalah sintetik, seperti yang dicontohkan oleh proposisi "Garis lurus antara dua titik adalah yang terpendek," yang melibatkan penambahan konsep kuantitas yang tidak terdapat dalam konsep garis lurus itu sendiri. Bahkan prinsip-prinsip dasar dalam matematika, meskipun terkadang tampak analitis, pada akhirnya bergantung pada intuisi untuk validitasnya.
Ilmu filsafat alam (fisika) mengandung penilaian sintetik a priori sebagai prinsip-prinsipnya. Contoh yang diberikan adalah dua proposisi: "Dalam semua perubahan dunia material, jumlah materi tetap tidak berubah" dan "Dalam semua komunikasi gerak, aksi dan reaksi harus selalu sama." Kedua proposisi ini jelas berasal dari pengetahuan a priori dan bersifat sintetik karena mereka memperluas konsep yang ada (seperti materi) dengan menambahkan unsur yang tidak termasuk dalam konsep tersebut secara inheren. Dengan kata lain, meskipun proposisi ini tidak dapat diperoleh hanya melalui analisis konsep, mereka tetap dipahami sebagai penilaian a priori dalam fisika
Metafisika, meskipun sebagai bidang studi yang baru berkembang, pada dasarnya adalah suatu bidang yang diperlukan dan harus mencakup proposisi sintetik a priori. Berbeda dengan sekadar menganalisis dan menjelaskan konsepsi yang ada, metafisika bertujuan untuk memperluas pengetahuan a priori kita dengan memperkenalkan prinsip-prinsip yang melampaui konsepsi awal dan tidak diperoleh dari pengalaman. Misalnya, proposisi seperti "dunia harus memiliki awal" merupakan contoh bagaimana metafisika menggunakan penilaian sintetik a priori untuk mengeksplorasi ide-ide di luar batas empiris. Dengan demikian, esensi metafisika terletak pada ketergantungannya pada proposisi sintetik a priori ini.
Masalah utama dari alasan murni adalah memahami bagaimana penilaian sintetik a priori mungkin terjadi. Masalah ini sangat penting untuk keberadaan dan kemajuan ilmu metafisika. Hal ini menjadi ini kritik para filsuf masa lalu, seperti David Hume, karena tidak sepenuhnya memahami atau menangani isu ini, yang menyebabkan skeptisisme dan stagnasi ilmu metafisika.
Meskipun ada tantangan, metafisika harus dianggap sebagai disposisi alami dari alasan manusia, yang mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan mendasar tentang sifat realitas yang tidak dapat dijawab hanya dengan pengalaman empiris. Metafisika diperlukan untuk memperluas pengetahuan a priori kita dan tidak hanya bergantung pada analisis semata, karena keputusan analisis tidak menjelaskan bagaimana kita sampai pada penilaian a priori ini. Dalam memajukan ilmu metafisika, menyarankan bahwa meskipun ada kesulitan, pemikiran ini penting untuk pertumbuhan dan pemahaman alasan manusia.
"Kritik atas Alasan Murni" adalah ilmu yang berfokus pada prinsip-prinsip pengetahuan a priori. Kritik ini bertujuan untuk memeriksa kemungkinan dan batasan penilaian sintetik a priori tanpa memperluas batas-batas pengetahuan kita. Ini tidak dimaksudkan sebagai ajaran, tetapi sebagai kritik terhadap alasan murni untuk memperbaiki dan melindunginya dari kesalahan.
Filosofi transendental, yang berurusan dengan cara kita memahami objek secara a priori, adalah ide dari ilmu yang lebih besar. Kritik ini tidak mencakup analisis lengkap dari semua pengetahuan a priori, tetapi lebih fokus pada prinsip-prinsip sintesis a priori. Ini harus bersih dari konsep empiris, dan meskipun prinsip moral dapat berupa pengetahuan a priori, mereka tidak termasuk dalam filosofi transendental karena melibatkan konsep empiris.