Lihat ke Halaman Asli

Shofiyatul Ummah

Comparative law student

Ada Apa dengan Tes Alih Status KPK Menjadi ASN?

Diperbarui: 14 Mei 2021   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini isu nasional Indonesia diwarnai oleh banyak kasus yang menarik perhatian dan kritik dari public, seperti pidato presiden yang mempromosikan babi panggang, ketidak konsistenan pemerintah dengan keluar masuknya WNA Cina dalam keadaan adanya larangan mudik bagi masyarakat, sampai isu paling krusial terkait dengan hasil Tes Wawasan Kebangsan TWK pegawai KPK untuk berpindah statuus menjadi ASN. Kritik publik ini kiranya dianggap wajar adanya sebagai konsekwensi keberadaan Negara Indonesia yang menstatuskan dirinya sebagai Negara yang demokratis.

Namun dengan banyaknya isu sebagaimana yang telah disebutkan, isu yang paling menyita perhatian adalah isu tentag KPK, pasalnya dalam proses TWK  untuk peralihan status pegawai KPK menjadi ASN disinyalir terdapat kejanggalan-kejanggalan, di antaranya adalah banyaknya pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan TWK di mana mayoritas mereka adalah merupakan penyedik senior yang tidak diragukan lagi dedikasinya dalam memberantas korupsi di Indonesia seperti Novel Baswedan, bahkan ada sekitar 75 anggaota KPK yang resmi dinonaktifkan karena tidak lulus tes tersebut, keanehan dalam TWK ini terindikasi dari beberapa hal, seperti tidak wajarnya pertanyaan pertanyaan yang diajukan pada saat Tes Wawasan Kbenagsaan, anggota KPK yang tidak lulus tersebut adalah orang-orang yang sedang menangani kasus-kasus besar seperti korupsi dana bansos, kasus ekspor baby lobster dan kasus besar lainnya.  

Lalu bagaimana sisi pandang hukum terkait fenomena ini mengingat bahwa Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang tertera dalam pasa 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum.?

A.Hamim S. Attamimi mengutip pendapat Burkens menjelaskan bahwa secara singkat Negara hukum adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara, serta penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dengan demikian konsep Negara hukum memberikan sebuah gambaran Negara yang diatur oleh sebuah konstitusi tertentu yang menjamin warganya dari tindakan sewenang-wenang pemerintah. Sedangkan jika mengitup teori yang disampaikan oleh Arestoteles setidaknya ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi, pertama pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum, kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum dan bukan hukum yang dibuat secara seenang-wenang, ketiga pemerintahan dilaksanakan atas kehendak rakyat.

Unsur pertama dari teori Aristoteles ini kemudian lebih diperjelas dalam teori hukum progresif Tsajipto Rahardjo yang menyatakan bahwa “hukum yang harus ditegakkan dalam sebuah Negara dalah hukum yang tidak hanya mempertimbangkan aspek rasional, namun juga aspek spiritual dan moral” dalam artian hukum tidak dapat diterapan secara hitam putih, namun hukum harus diterapakan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, dan komitmen terhadap penderitan dan permasalahan bangsa dengan disertai keberanian untuk mencari jalan keluar yang dapat dilakukan. Dari beberapa teori yang telah diungkapkan di atas maka sangat jelas bahwa salah satu unsur terpenting Negara hukum adalah adanya kebijakan yang selalu mempertimbangkan dan mementingkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Tak berhenti dengan konsepsi bentuk Negara hukum semata, dalam sistem Negara hukum juga dikenal istilah politik hukum, yang juga menjadi unsur terpenting dari penetapan hukum itu sendiri, menurt Prof. Mahfud MD politik hukum adalah legal policy atau sebuah garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan. Political will yang dibangun dan diterapkan oleh peemrintah haruslah senafas dengan keadilan dan penegakan hukum itu sendiri, sebab keberadaan politik hukum yang tidak mendukung tentu secara mutatis mutandis dapat menyebabkan hambatan bagi penegakan hukum yang berekadilan itu sendiri.

Berkaitan dengan kebijakan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN nyatanya telah banyak akademis dan masyarakat umum yang mempertentangkan hal tersebut, yang salah satunya termanifestasi dari adanya pengajuan uji materil pada mahkamah konstitusi, dalam  putusan No. 70/PUU-XVII/2019 namun dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon. Terakit peralihan status pegawai KPK berubah menjadi ASN, makamah menetapkan bahwa peralihan status tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar disain yang telah ditentukan. Namun nyatanya hasil Tes Wawasan Kebangsaan yang dilakukan justeru memberikan kerugian yang nyata terhadap para pegawai KPK, dan tidak dilaksanakan sesuai dengan isntruksi dari putusan MK tersebut, bakan yang dinyatakan tidak lulus TWK tersebut perlu dipertanyakan ulang, sebab meraka adalah orang-orang yang secara nayata mendedikasikan dirinya secara utuh untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

Jika dilihat secara defacto fenomena ini hemat penulis mengindikasin adanya beberpa hal, pertama upaya merongrong terhadap tegaknya penanganan korupsi di Indonesia yang salah satunya terbukti dengan adanya polarisasi KPK dengan wajah yang baru, padahal kegagalan mengawasi praktik korupsi menjadi salah satu legetimasi paling mendasar untuk menunjukkan keberhasilan sebuah Negara yang demokratis, sebab dengan melemahnya penegak koruspi rakyat akan putus asa terhadap lembaga yang paling tidak dapat memperjuangkan nasib mereka.

Yang kedua adanya pengabaian terhadap aspirasi masyarakat, dalam hal ini pemerintah tidak berhasil merespon aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat, padahal dalam Negara demokrasi modern Negara harus memperhatikan sistem Check and balancess yang tepat dengan menerapkan adanya bleneced of interest di antara tiga pilar utama negara yakni, masyarakat, Negara dan penegak hukum. James A Robinson dalam bukunya “Why The Nations Fail” mengatakan bahwa salah satu factor utama kegagalan sebuah Negara dalah karena terciptanya sistem hukum dan politik yang ekstraktif, di mana sistem dalam sebuah Negara diterapkan secara inklusif, dan tidak mementingkan kebaikan umum rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline