Demokrasi adalah kata yang sering diucapkan, tetapi semakin banyak yang berbicara, semakin disadari betapa sulitnya menemukan contoh negara yang memenuhi tatanan demokrasi dengan sempurna.
Di Indonesia, pencarian sosok demokrasi terus berlanjut baik pada tataran praktik sistem politik maupun kajian akademik.
Di tingkat akademik, banyak kuliah yang dibahas secara rinci dalam berbagai seminar, namun pada saat yang sama beberapa buku, artikel para ahli dan politisi muncul di jurnal ilmiah, surat kabar, dan majalah.
Namun berbeda dengan negara berkembang lainnya, maraknya perdebatan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintah negara ini tidak mengenal sistem demokrasi. Sebaliknya, bangsa Indonesia memahami banyak ragam demokrasi di dunia pada tataran implementasi sistem politik.
Beberapa di antaranya bahkan telah diuji di negeri ini dalam kaitannya dengan demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi pan-Islam. Namun manifestasi demokrasi yang berbeda-beda tersebut tidak mampu menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berlandaskan nilai dan prinsip demokrasi dalam arti yang benar.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi dalam kehidupan politik Indonesia, sebagian besar masyarakat berharap akan muncul tatanan dan sistem politik yang benar-benar demokratis. Namun, setelah hampir lima tahun beraktivitas, praktik politik dan kehidupan berdemokrasi masyarakat dan bernegara belum juga menunjukkan arah yang sesuai dengan keinginan reformasi. Demokrasi dipertanyakan dan ditantang ketika berbagai praktik politik yang mengatasnamakan demokrasi sering menunjukkan paradoks dan ironi. Memang proses melawan demokrasi ini memiliki makna yang kuat dalam akar sejarah dan sosiologi politik bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, artikel ini mencoba melihat seperti apa jalan demokrasi di negeri ini dan kemudian menganalisis prospek demokrasi Indonesia ke depan dengan menggunakan contoh kasus pemilihan umum dan Pilkada.
Permasalahan demokrasi bukanlah hal yang wajar dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan berbangsa. Namun, seperti yang dikatakan Apter (1963), masalah demokrasi hanya buatan manusia, yang pada gilirannya mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan tujuan non-manusia.
Berdasarkan semangat dan kerangka usulan di atas, perkembangan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia akan sangat mempengaruhi perpaduan model demokrasi dan egaliter sebagai cita-cita sejati budaya Indonesia. Sebagai contoh dapat kita ambil kasus dimana penyerahan kekuasaan resmi Belanda ke tangan republik tidak menimbulkan perubahan yang berarti. Perubahan yang terjadi lebih pada tataran estetik-simbolik daripada tataran isi-etis. Semangat egaliter budaya demokrasi yang terpatri dalam mimpi-mimpi masyarakat sirna ketika upaya-upaya dilakukan untuk melaksanakan Deklarasi Kemerdekaan.
Demokrasi Indonesia menampilkan dirinya secara politik dengan memilih demokrasi liberal dan parlementer dan secara ekonomi dengan memilih menciptakan kelas menengah pribumi yang kuat Obsesi dengan pilihan politik dan ekonomi tersebut adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu mendukung terbentuknya sebuah masyarakat berdaya, jika hal ini diwujudkan, diharapkan demokrasi benar-benar terwujud.
Sayangnya, prasyarat yang sebenarnya, terutama keberadaan kelas menengah yang kuat sebagai aktor sentral demokrasi, tidak terpenuhi. Pembangunan universal yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional yang lebih sosialis terbukti gagal total karena tidak adanya struktur politik yang mapan dan demokratis. Kelas menengah yang diharapkan sulit ditemukan. Kegagalan praktik fundamental demokrasi liberal dan parlementer kemudian direduksi menjadi kegagalan implementasi demokrasi Barat yang tidak sesuai dengan identitas dan budaya bangsa Indonesia. Nampaknya sengaja mengabaikan fakta bahwa tidak dilaksanakannya demokrasi Barat sebenarnya lebih disebabkan oleh rapuhnya pembangunan sistem politik yang berlandaskan ideologi budaya dan bobroknya sistem ekonomi saat itu.
Maka Sukarno bereksperimen dengan demokrasi terpimpin, yang menurutnya menjadi demokrasi khas Indonesia. Walaupun Soekarno mengatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahwa kekuasaan terpusat sepenuhnya pada Soekarno. Bung Karno sebagai Presiden pun menyampaikan pendapatnya