Lihat ke Halaman Asli

Di Bawah Langit Dukuh Sebatang

Diperbarui: 24 Januari 2016   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu turun hujan, di sebuah rumah yang berjarak dari jalan aspal, jauh dari jalan raya, juga tidak terpetakan dari pusat kota, saya duduk menonton tiga anak bermain lempar bola di teras. Pagi hari, penderes nira naik ke pucuk pohon kelapa, lalu turun memikul sajeng (air nira) dalam tabung-tabung kayu yang dipikul di pundak, melintasi jalanan berbukit terjal yang menukik dan berbelok tajam. Oleh mereka, sajeng ini disetor ke pengolah nira untuk dimasak dan diproduksi jadi gula merah.

 Di rumah yang sedang saya ceritakan ini, hidup sepasang nenek dan kakek yang setiap hari mencetak gula merah. Saya bersama teman saya, Rizka, adalah pendatang yang mampir berteduh di rumah ini. Rizka lanjut membantu nenek yang dipanggil Si Mbah di dapur mengirisi tomat dan brambang untuk makan siang, bergantian dengan saya yang perlahan menjauh mencari ruang untuk memperhatikan. Cucu dari Si Mbah tadi, salah satunya adalah anak yang sedang saya perhatikan dari jauh. Ia memisahkan diri dari kedua temannya yang lain, duduk di sudut yang bersisian dengan saya.

 

[caption caption="Si Mbah mengolah nira jadi gula kelapa"]

[/caption]

Di rumah yang sedang saya ceritakan ini, hidup sepasang nenek dan kakek yang setiap hari mencetak gula merah. Saya bersama teman saya, Rizka, adalah pendatang yang mampir berteduh di rumah ini. Rizka lanjut membantu nenek yang dipanggil Si Mbah di dapur mengirisi tomat dan brambang untuk makan siang, bergantian dengan saya yang perlahan menjauh mencari ruang untuk memperhatikan. Cucu dari Si Mbah tadi, salah satunya adalah anak yang sedang saya perhatikan dari jauh. Ia memisahkan diri dari kedua temannya yang lain, duduk di sudut yang bersisian dengan saya.

“Kamu suka hujan?” Saya memeluk lutut sambil duduk merapat ke arahnya, mempersingkat jarak.

“Ndak, Mbak.” Ia menjawab singkat.

“Lebih suka musim panas?” Saya bertanya lagi. Ia hanya mengangguk singkat tanpa kata. Masih asing dengan kehadiran saya.

“Kenapa?” saya bertanya lagi. Semoga pekerjaan sehari-hari yang mengharuskan saya sering bertanya sampai jadi kebiasaan, tidak membuat anak kelas 4 SD ini dongkol. Ia menggeleng lagi, menghindari tatapan mata saya. Mungkin karena terdengar menguji seperti soal Bahasa Indonesia di buku LKS yang tidak ia sukai, sementara ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara hujan di luar masih turun dengan derasnya.

Kunjungan singkat saya selama dua hari ke Dukuh Sebatang, Desa Hargotirto, Kulonprogo, Yogyakarta kali ini adalah dalam rangka bertemu dengan adik asuh dalam program pendidikan Menyapa Indonesia yang dijalankan oleh penerima beasiswa LPDP RI. Layaknya anak-anak desa pada umumnya, anak-anak Sebatang pemalu di depan orang asing. Jangankan beropini, berbicara sambil memandang lurus mata orang yang mengajak berbicara pun tak berani.

Anak itu bernama Zandy, adik asuh yang dipasangkan oleh Rizka sebagai Kakak Inspirasi. Sementara saya sendiri menjadi Kakak Inspirasi bagi Rimba, seorang anak laki-laki berbadan tambuh yang lebih periang, namun sama curiganya dengan kehadiran orang baru yang tiba-tiba. Kami baru saja berkunjung ke rumah Rimba sebelum menghampiri rumah Zandy. Rimba dan Zandy adalah teman sekelas. Dari salah satu teman koordinator program saya diam-diam mencatat hasil pemetaan observasi, mereka senang bermain di luar ruangan; Rimba senang bersepeda dan Zandy senang bermain layangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline