Badminton menjadi andalan Indonesia di ajang internasional dan terkenal karenat eknik pemukulan yang bervariasi, mulai dari yang lambat hingga sangat cepat disertai dengan gerakan tipuan dan merupakan salah satu cabang olahraga yang terkenal di dunia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes Ri) (2018) memaparkan beberapa data tentang jenis, dan tempat cedera di indonesia. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan 49 jenis cedera luka lecet/memar sebesar 56,1%, luka robek/iris 19,7%, terkilir pada pergelangan kaki sebesar 36,1%, anggota tubuh bagian bawah sebesar 64,5% dan bagian atas sebesar 33,69% (Nirmalasari et al., 2020) & (Hardyanto & Nirmalasari, 2020).
Cedera bisa terjadi karena tumpuan kaki yang tidak tepat saat beraktivitas olahraga. Faktor lain yang dapat menyebabkan orang mengalami sprain ankle antara lain kelemahan otot, cedera berulang, fleksibilitas yang buruk, kurang melakukan pemanasan dan peregangan sebelum berolahraga, keseimbangan yang buruk, permukaan lapangan olahraga yang tidak rata.(Catherina & I Putu Adiartha Griadhi, 2021).
Gejala yang muncul setelah terjadinya sprain ankle adalah terdapat nyeri kronis yang menyebabkan immobilisasi dan akhirnya menyebabkan penurunan kekuatan otot, dan ketidakstabilan pada sendi ankle dapat menurunkan agility pada atlet. (Waritsu et al., 2022) & (Sudaryanto et al., 2022).
Untuk meningkatkan agility pasca cedera sprain ankle pada atlet dapat dilakukan latihan berupa circuit training dan latihan shadow. Agility adalah kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah arah gerakan dengan cepat dan tiba-tiba pada kecepatan tinggi. Seseorang yang memiliki tingkat agility yang tinggi dapat dengan mudah mengubah arah gerakan di posisi yang berbeda pada kecepatan tinggi.
Salah satu cara untuk melatih agility adalah melalui latihan circuit training dan shadow badminton, yang dapat membantu memperkuat kaki dan meningkatkan penguasaan lapangan saat bermain. (Widhiyanti, 2022).
Penelitian ini adalah quasi experimental dan rancangan penelitian ini menggunakan Two Group Pretest-Posttest Design. Dengan kelompok satu diberikan intervensi berupa latihan circuit training dan kelompok dua diberikan Latihan shadow. Sebelum diberikan perlakuan, pada penelitian ini pengukuran agility menggunakan alat ukur Illinois agility test pada atlet yang mempunyai riwayat sprain ankle, diukur sebanyak dua kali, sebelum dan sesudah diberikan latihan.
Sebanyak 20 responden ditentukan menggunakan teknik purposive sampling yaitu dalam menetapkan sampel berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan yang sering disebut sebagai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Intervensi latihan dilakukan 16 kali pertemuan dengan 3 kali dalam seminggu selama 6 minggu.
Dengan dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan saphiro wilk test. Uji hipotesis I menggunakan uji Paired sample t-test, uji hipotesis II menggunakan uji Paired sample t-test, dan uji hipotesis III menggunakan uji independent sampel T test.
Hasil uji hipotesis I menggunakan Paired sample t-test, diperoleh nilai p=0,015 artinya p<0,050, hasil uji hipotesis II menggunakan Paired sample t-test, diperoleh nilai p=0,001 artinya p<0,05, dan hasil uji hipotesis III menggunakan uji independent sampel T test, didapatkan nilai probabilitas p=0,020. Hal ini berarti nilai probabilitas lebih kecil dari 0,005 (p<0,05).
Dari hasil penelitian ini menunjukan ada perbedaan pengaruh latihan circuit training dan latihan shadow terhadap peningkatan agility terhadap atlet. Saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan kepada rekan-rekan untuk menambahkan durasi waktu yang lebih lama, sehingga latihan yang dilakukan dapat di maksimalkan.