[caption caption="Taksi Uber ketika beroperasi (gambar: megapolitan.kompas.com)"][/caption]
Beberapa hari yang lalu, Kementrian Perhubungan dibuat kerepotan dengan permintaan awak dan pemilik transportasi massal di Jakarta. Hal ini dikarenakan kebijakan angkutan umum massal yang sudah mulai diperketat, agar bisa melayani masyarakat dengan baik. Dan ujung-ujungnya adalah, masyarakat dapat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan angkutan umum, sebagai salah satu solusi pengurai kemacetan di Jakarta.
Sementara itu, di sisi lain ada sejumlah vendor yang menawarkan sistem angkutan transportasi massal yang lebih mudah, lebih baik, dan lebih nyaman. Disertai dengan sistem teknologi yang terintegrasi dengan smartphone, membuat segalanya berada dalam genggaman. Ini menjadi perhatian masyarakat publik, dan mereka sangat tertarik akan hal ini. Mereka pun membuat perbandingan dengan angkutan massal yang ada saat ini. Berbagai alasan dan fenomena membuat mereka semakin jauh menggunakan angkutan umum konvensional. Dari mulai sering "ngetem" , tidak aman, waktu perjalanan yang lama (walaupun dalam keadaan tidak macet), panasm dan lain-lain.
Dan sampai sekarang sistem angkutan konvensional ini masih bertahan, namun mulai goyah dengan adanya transportasi on-line. Sehingga akhirnya habislah kesabaran para pelaku jasa transportasi. Mereka menyalahkan pada sistem on-line nya, padahal justru sistem inilah yang diterima oleh masyarakat.
Tapi kalau mau berlaku secara adil, sebenarnya, transportasi sistem on-line aplikasi tidak seluruhnya adalah legal. Justru sebagian besar adalah ilegalt, erutama untuk kendaraan roda empat. Karena ada perlakuan yang berbeda. Sistem on-line seperti Uber dan Grab Taxi, tidak mempunyai armada, mereka hanya menawarkan aplikasinya dan armada menggunakan sistem sewa. Tentu dengan profit sharing yang sesuai perjanjian. Dan, armada-armada sewaan ini adalah kendaraan pribadi, yang tidak ada Uji KIR, Uji Emisi, Ijin Trayek dan lain sebagainya. Sehingga harga yang ditawarkan ke masyarakat menjadi murah dibandingkan konvensional.
Oleh karena itu, tentu saja pilihannya harus merevisi UU, atau memaksa angkutan sistem on-line itu menaati peraturan. Merevisi UU sangat lama, sedangkan kebutuhan transportasi sangat mendesak. Pihlihan kedua, mau tidak mau, suka atau tidak suka, memang harus dipaksakan. Kendaraan pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum harus tetap uji KIR, uji emisi, dan ijin-ijin lainnya. Dengan begitu, ada keadilan bagi semua pelaku jasa transportasi.
Jadi, teknologi sulit untuk dibendung. Jangan dihambat, namun peraturan tetap diberlakukan sama. Jika sama, bisa jadi harga yang ditawarkan malah sedikit mahal, tapi ada nilai plus yang bisa ditawarkan, dan menciptakan persaingan yang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H