Lihat ke Halaman Asli

shoepindra

Profesi Elektromedis

Ternyata Dunia Balap Formula 1 Itu...

Diperbarui: 1 Maret 2016   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mobil Formula 1 (ilustrated by : weeklypique.com)"][/caption]

Saya sempat menjadi penggemar dunia balap Formula 1 ketika jamannya masih Aryton Senna, Damon Hill, dan Young Michael Schumacher. Persaingan yang cukup ketat, apalagi ketika munculnya Michael Schumacher, yang pada waktu itu tercatat sebagai pembalap paling muda, tapi prestasinya luar biasa. Dunia selalu memperhatikannya. Berbagai stasiun televisi diberbagai negara meliput balapannya, bahkan meliput kehidupan pribadi seorang Schumacher. 

Dengan latar belakang menjadi seorang pembalap dari kecil, kemudian jadi juara go-kart, dan terus menanjak hingga pada puncaknya sebagai pembalap F1. Kesimpulannya adalah, bahwa untuk menuju kesini berdasarkan dari karir dan rekam jejak sang pembalap semata. Berprestasi luar biasa, maka puncak karirnya adalah Formula 1 ini.

Indonesia pun ternyata punya ambisi untuk dapat ikut serta dalam dunia Formula 1. Masih ingat ketika itu Ananda Mikola, yang juga mempunyai prestasi, sempat akan diorbitkan menjadi pembalap Formula 1. Namun kemudian berita itu tenggeF1lam, yang saya sendiri tahu apa yang terjadi. Dan ketika saat ini ramai Rio Haryanto masuk dalam dunia balap Formula 1, ada rasa bangga. Tapi justru inilah yang membelalakan mata saya tentang dunia  F1. Bahwa, berprestasi tidak cukup untuk ikut berkompetisi di Formula 1. Faktor yang lain adalah UANG. 

Dan ini tidak hanya berlaku pada Rio Haryanto saja, bahkan pembalap-pembalap lain juga begitu. Ada Alex Yoong dari Malaysia, Narain Karthikeyan dari India, dan lain sebagainya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah, uang yang dibutuhkan tidak sedikit. Dalam rupiah, dibutuhkan 200 Milyar lebih hanya untuk membayar seorang Rio Haryanto. Dan yang menjadi polemik, uang itu akan dianggarkan dari APBN.

Glamournya F1 ternyata adalah kembali kepada siapa yang mempunyai uang yang banyak. Profesionalitas menjadi rancu. Semenjak pasca era Schumacher, sepertinya Formula 1 mulai meredup. Dominasi Mercedez dan Ferrari tak terbendung, membosankan. Saling salib menyalib didunia Formula 1 sudah mulai langka. Sebagai contoh di Sirkuit Monaco, bisa diyakinkan 90%, siapa yang diposisi pertama akan menjadi juara di akhir balapan.

Dari sisi lain, jika pemerintah menganggarkan untuk Rio Haryanto, dengan nilai 200 M lebih sendiri, akan menimbulkan kegaduhan. Dengan 200 M, bisa membangun 2 stadion sepakbola dengan asumsi 100 M, atau bisa mebangun puluhan atau ratusan stadion bulutangkis. Atau lagi bisa membeli sarana penunjang olahraga yang jumlahnya bisa beribu-ribu bahkan puluhan ribu. Kementrian Olahraga sendiri sekarang sedang menghadapi persiapan Asian Games, adalah hal yang sangat mengkhawatirkan jika biaya 200 Milyar ini akan menjadi belanja yang paling sia-sia. Dan bisa dimaklumi jika DPR menolaknya. 

Dari sisi karir, Manor Racing bukanlah tim yang luar biasa. Atau malah bisa dikatakan tim ecek-ecek. Mudah-mudahan Rio Haryanto bukan sekedar penambah pundi-pundi uang saja. Begitu uang habis, maka dibuang. Dan, efeknya, seorang Rio Haryanto bisa menjadi terpuruk kembali. Semoga saja ini pikiran buruk penulis semata. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline