Lihat ke Halaman Asli

Takkan Berhenti Sebelum Pernah

Diperbarui: 1 Mei 2019   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Minggu, 28 April 2019, disaat waktu menjelang malamku sekitar pukul 19.30 WIB.
"Ayooo adek-adek, lantai 1, lantai 2, lantai 3, lantai 4, segera menuju ke masul guna mendukung teman-temannya yang didelegasikan lomba PKM Al-Banjari!", suara itu terdengar keras dari isti'lamat mabna Ummu Salamah.
"Ah, berisiikkk!!!", teriak mahasantri tanda tak menghiraukan obrakan dari musyrifah perlantainya.
Tak ambil diam, melihat lokasi perlombaan masih sepi, teteh-teteh musyrifah akhirnya keliling ke kamar mahasantri untuk memastikan apakah seluruh mahasantri memang telah berangkat.
Kenyataan membuktikan memang masih banyak mahasantri yang bersembunyi di kamar masing-masing, (ya termasuk aku). Disaat itu, aku yang mencari kesempatan untuk mengerjakan tugas kuliah. Disini aku tak sendiri, bersama dua teman kamarku. Kamipun berlari mencari tempat ternyaman sehingga teteh-teteh tak dapat menemukan kami. Tempat belakang pintu kamar mandi, akhirnya kujadikan tempat persembunyianku dari teteh-teteh musyrifah.
"Krek, krek, krek", tanda seseorang membuka pintu yang tengah dikunci. Aku tetap dibalik pintu kamar mandi, disusul teteh yang masuk mengecek kamarku. Setelah masuk ke setiap kamar, "yeeaaah, Alhamdulillah", akhirnya teteh sudah pergi, menganggap seluruh mahasantri telah berada di masul.
Dengan rasa sok-sokan, aku bangga karena teteh tidak menemukan aku di tempat persembunyianku.
...
Beberapa saat kemudian.
(Pukul 21.00 WIB)
"Krk,krk,krek", terdengar kembali suara seperti seseorang yang mau masuk ke kamar.
"Teteh, teteh, teteh", bisik kami yang sedang berada di dalam kamar. Dengan serentak kami kembali ke tempat persembunyian sebelumnya.
Begitu denganku, aku berlari menuju ke kamar mandi, berniat tuk bersembunyi di belakang pintu kamar mandi.
Belum sampai ke dalam kamar mandi, tepatnya masih di antara balkon depan kamar mandi dan kamar. Dikarenakan lantai yang licin, "sssseeeeeeaaaattttttttt..."
"Ibuuuuuuuuu", teriakku yang sudah tak berdaya terpleset kemudian kepala terbentur ke pinggiran pintu.
Seketika itu kupegang kepalaku yang sakit, "aaaahhhhh, darahhh". Ternyata darah terus mengalir.
Dengan refleks, dua teman kamarku yang bersembunyi bersamaku menolongku. Dialirkanlah air kran ke luka di kepalaku oleh mereka.
Dibalik itu,"Assalamualaikum", ternyata teman kamarku yang datang. Ia datang sontak kaget dan bingung melihat aku yang tengah ditolong tak berdaya di kamar mandi
...
"Nggak apa-apa, ini cuma luka dikit", lontar temanku seakan menenangkan aku yang merasa ketakutan, sambil membersihkan kepalaku dengan kapas. Tetapi semua itu persis pada kejadian 13 tahun yang lalu, dimana darah tak kunjung berhenti yang akhirnya haruslah dijahit. Disanalah aku semakin takut dan menjerit.
...
Tak lama kemudian, pintu mabna telah dibuka, mahasantri kembali ke kamarnya masing-masing, begitu dengan teman-temanku. Seketika mereka langsung ke kamarku melihat keadaanku yang tengah berbaring menangis. Dihubungilah teteh musyrifah pendampingku oleh mereka agar aku segera dibawa ke rumah sakit. Disini aku hanya bisa menangis dan menyesal atas apa yang aku lakukan, disamping luka masih bercucuran darah.
...
(Pukul 22.00 WIB)
Aku berangkat ke salah satu rumah sakit swasta di Malang dengan dua sepeda motor.
Setelah menempuh perjalanan yang diguyur hujan, sampailah di rumah sakit itu. Setelah menyelesaikan registrasi, aku masuk di ruangan UGD, dimana disana terdapat tulisan BEDAH 1, BEDAH 2. Kemudian, dilihatlah luka kepalaku oleh Ibu dokter. Sudah kuduga sebelumnya, dan memang kenyataan, "Ini lukanya harus dijahit sekitar 3 jahitan", kata dokter kepadaku.
Oke, disitu aku tak dapat melakukan apapun kecuali menangis, dengan segera dokter bertindak mengambil alat-alat untuk proses pananganan bedah kecil. Pertama, dokter menyuntikkan bius di kepalaku, kemudian dijahitlah sebanyak 3 jahitan. Di setiap jahitan tersebut, tak dapat ku berkata apapun selain menyebut "ibuuuuuuuuu, ibuuuuu" dengan tetesan air mata yang menyertai.
Nggak lama proses tersebut, dokter berkata "sudah mbak, ini sudah selesai", dioleskan salep di lukaku kemudian ditutuplah dengan perban.

... Bu
Duduklah aku, merenung atas apa yang terjadi sebelum itu, ku tak mau mengulangi kenakalanku lagi. Dengan merasa bersalah, akupun mengaku menceritakan awal kejadian dan meminta maaf ke teteh musyrifah atas segala kesalahanku. Yah, aku merasa bahwa semua itu teguran oleh Allah agar aku selalu taat pada peraturan-peraturan yang masih berlaku. Bukan iqob ataupun hukuman dari musyrifah, akan tetapi serasa sebuah azab langsung dari Allah. Tetapi kubersyukur, Alhamdulillah Allah masih sayang, dimana aku masih diberikan-Nya sebuah pertolongan atas kejadian itu.
Sejak tragedi tersebut, kujadikan sebagai pelajaran, berjanji tidak akan berbelok pada peraturan, tetap taati dan laksanakan aturan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline