Lihat ke Halaman Asli

Deuxième: La Mystérieuse Maison (4)

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku selalu memimpikan memiliki rmah joglo atau rumah bergaya kolonial dengan sentuhan modern. Pasti akan sangat cantik dan tampil beda. Rumah ini pun, diam-diam telah merenggut hatiku.Meski lama tak ditempati namun kulihat semua masih terlihat bersih dan rapi karena dirawat Pak Man. “Apa kau sudah membayar rumah ini?” Tanyaku pada Bagas yang sedang mengelap sebuah lampu semprong besar antik. Aku tahu, ia suka sekali barang-barang kuno. “Dari sini nanti kita ke Solo menemui pemiliknya, aku sudah bawa setengah jumlah yang diminta sebagai depe. Tapi nanti kita coba nego lagi, mungkin bisa lebih murah lagi.” “Hmm..semoga saja bisa, tapi aku tidak yakin. Kurasa harga itu juga sudah di bawah standar. Kayunya juga masih bagus-bgus jadi tak akan banyak yang perlu diganti. Apa perabotnya sudah termasuk? Aku suka ranjang di tempat tidur depan. Cantik sekali” “Sepertinga sih semua, tapi nanti kita perjelas lagi di kontrak jual beli. Aku juga naksir meja tulis itu, gagah sekali. Seperti melihat Mbah Kakung saat duduk di mejanya dulu saat kita masih kecil. Kamu ingat?” “Iya, aku ingat.Mbah Kakung gagah sekali kalau sudah duduk di mejanya sambil menulis dan memakai kacamata bingkai hitam tebalnya . Ngomong-ngomong meja tulis Mbah kakung itu di mana ya?” “Di jual sama Bulik Sari. Katanya sudah kuno, tak cocok untuk rumahnya yang model minimalis.” “Wah sayang ya..saat itu kita masih kecil jadi tak tahu kalau barang kuno itu ternyata indah dan berharga sekali.” “Ah..sudahlah. Tak guna juga disesali. Aku rasa sudah cukup kita berkeliling di sini. Ayo kita pamitan Pak Man, langsung ke Solo melakukan transaksi. Barang harus sudah segera dikirim agar saat summer sudah bisa dipasang di Perancis sana.” Kadang ada juga rasa bersalah dalam diriku saat melepas barang-barang antik ke luar negeri, apalagi jika memiliki nilai sejarah tinggi. Tapi Michelle tahu kelemahan kami. Saat sudah berhadapan dengan jumlah uang yang ditawarkan, seketika otak serasa beku dan semua menjadi tak terlalu penting lagi. Apalagi jika kami juga sudah dikejar-kejar bank untuk membayar angsuran ini dan itu, makin pendeklah otak berpikir. Yang ada pikiran pragmatis, bagaimana semua masalah teratasi. Tapi rumah ini…entah mengapa membuat aku enggan beranjak dari tempatku berdiri. Bagas menutupi kembali semua pintu dan jendela. Buku-buku tua yang ditemukannya masih berserak di atas meja. “Tolong nanti minta ijin ke pemiliknya, bolehkah aku memiliki buku-buku ini?” “Iya sista, nanti kita tanyakan. Ayo kita temui Pak Man.” Bagas menghilang dari ruangan, menuju belakang rumah menemui Pak Man untuk berpamitan. Aku masih berdiri di depan pintu utama yang gagah tinggi besar, memandang ke dalam. Menyapu semua langit-langit dan ornamen di dalamnya yang sungguh cantik dan antik. Tercium aroma kopi. Aku menengok ke teras, ada dua cangkir kopi gula batu dan pisang rebus diletakkan di atas meja kecil. Kopi masih mengepul berarti baru saja disajikan. Aku tutup pintu, terdengar suara keras menggelegar dari dalam, karena beratnya pintu. Lalu duduk di kursi teras, menyeruput kopi yang harum sambil menguyah perlahan pisang Sobo rebus yang hangat. Mak nyus tenan. Mataku nanar memandang waduk Kedung Ombo dari kejauhan. Rasanya damai sekali. Bagas datang dari arah belakang lalu turut duduk di teras menikmati kopi. “Hm..enak sekali ya! Aku sudah pamitan pada Pak Man. Ayo kita berangkat.” Bagas menandaskan isi cangkirnya, lalu berabjak dari tempat tidur agak tergesa-gesa. “Keburu sore, nanti tidak ketemu Pak Wid. Ayo jalan!” Aku masih di situ, duduk di tempatku enggan beranjak. Ada hal yang ingin kukatakan meski agak berat diucapkan. “Dik…bolehkah aku tinggal di sini saja? Aku malas ke Solo. Begitu urusan di Solo selesai, jemput lagi aku di sini. Bolehkan?” kataku memohon. Ia tahu saat aku memanggilnya dik berarti aku sedang menegaskan sesuatu. “Kamu berani sendiri?” tanyanya tak yakin. “Lah kayak ga tahu mbakmu aja. Aku kan bukan penakut. Lagian kan juga ada Pak Man yang menemani. Pengenku sih satu hari penuh tapi kasihan anak-anak kalau kutinggal lama-lama. Aku tunggu kamu balik dari Solo sajalah. Boleh ya? Please? Sebelum rumah ini kita bongkar hari Minggu nanti.” “baiklah Sista, jika itu maumu. Ingin menyepi di sini. Ambil perbekalan di mobil jangan lupa charger, pastikan hape selalu nyala ya! Jika ada sesuatu langsung hubungi aku. 911! Polisi ini akan menjagamu! Aku titipkan dulu kamu pada Pak Man. Nanti malam aku jemput! “Iya..iya!” Aku sangat senang. Ia mengijinkanku tinggal. Setelah menemui Pak Man yang ikut ke depan mengantarkan kepergiannya, lalu ijin kembali ke belakang. Aku mengangguk mengiyakan. Akhirnya Bagas meninggalkanku sendirian. Kubawa kembali tas ransel perbekalan menuju dalam rumah, menyalakan lampu tengah agar terang dan membuka kamar pintu depan, menaruh barangku di sana. Aku keluar kamar mengambil wudlu di padasan yang diletakkan di samping rumah sambil mencuci muka. Segarnya air tanah membasahi. Kembali masuk rumah, menutup pintu depan dan menuju kamar untuk menunaikan sholat Ashar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline