Akhir-akhir ini sedang ramai perbincangan di media sosial tiktok dan X menyoal "punya anak dan menikah dalam kondisi miskin, adalah sebuah kejahatan". Opini yang ingin disampaikan oleh mereka adalah "stop sandwich Generation", menikah pada saat kondisi ekonomi stabil karena mereka menilai bahwa kestabilan finansial adalah fondasi utama dalam membangun rumah tangga. Karena kelak mereka harus menanggung beban seorang "anak" yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan mereka menikah dan punya anak dalam keadaan miskin akan membuat si anak ini terenggut masa depannya karena tumbuh dalam keluarga yang tidak bisa memfasilitasi bakat mereka. Selain itu memiliki anak ketika masih miskin juga dianggap mewariskan "beban" kemiskinan kepada anak, menjadikan anak "sapi perah" yang mereka perah secara brutal. Opini ini seolah merepresentasikan suara hati 71 juta warga Indonesia (data BPS 2020) yang menanggung beban ganda finansial keluarga alias generasi sandwich.
Mereka harus bertahan hidup ditengah kebutuhan yang semakin mahal dan kesempatan kerja yang semakin sempit, disamping mereka juga harus membiayai orang tua mereka bahkan anggota keluarga lain yang harusnya bukan menjadi beban mereka. Menganggap beban yang mereka terima saat ini adalah suatu kejahata bagi mereka. Namun jika kita melihat lebih dalam apakah benar mereka memilih untuk miskin? Apakah orang-orang miskin ini tidak punya hak untuk memiliki anak?
Apakah si miskin ini tak mau berusaha agar menjadi kaya? Lalu apa jadinya jika 26 juta warga miskin di Indonesia dilarang memiliki anak karena kemiskinan mereka? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang justru menjadi buntut dari opini ini. Jika kita telaah lebih dalam opini ini justru sangat berbahaya dan menyesatkan. Pertama apakah 26 juta masyarakat miskin di Indonesia memang mereka malas untuk bekerja sehingga mereka miskin? Jika alasannya malas alias karena faktor "human eror" apakah mungkin sebanyak ini orang miskin di negri yang kaya raya ini?
Nyatanya di lapangan orang-orang yang katanya miskin ini mereka banting tulang dari petang hingga petang lagi hanya untuk memperoleh segelintir rupiah. Berbeda dengan segelintir oligarki yang ongkang-ongkang kaki menerima transferan dengan nilai fantastis. Jadi apakah mereka malas? Tidak, mereka tidak malas. Mereka hanya tak diberi kesempatan yang adil.
Negara abai dengan hak dasar mereka, mulai dari kebutuhan primer mereka hingga pendidikan. Akses pendidikan begitu sulit dijangkau. Minimnya sarana prasarana juga menjadi halangan untuk mereka mengenyam pendidikan yang layak. Pun dengan minimnya lapangan pekerjaan yang kian sulit, ditambah skil yang tak terupgrade, ditambah maraknya praktek orang dalam yang menjamur. Faktor sistemik inilah yang kemudian melatarbelakangi menjamurnya orang miskin di negri ini.
Kemiskinan struktural begitulah istilah yang tepat dalam masalah ini. Mereka bukan miskin, tapi "dimiskinkan". Ketika negeri yang kaya ini dipimpin oleh pemimpin yang pro oligarki dan dalam sistem yang rusak, tentusaja hal ini meniscayakan ekonomi kian sulit, lapangan pekerjaan langka, dan akses pendidikan juga sulit dijangkau. Alhasil lahirlah kebodohan dan berujung pada kemiskinan.
Terciptalah masyarakat yang rusak, orang tua dzolim, benar salah ditabrak. Hal ini menciptakan kondisi rumit dimana kejahatan akan merajalela, kekerasan menjadi hal biasa karena orang-orang butuh untuk bertahan hidup. Secara fitroh tidak ada manusia yang ingin hidup miskin, tapi mereka dimiskinkan. Maka sangatlah konyol jika melimpahkan kesalahan struktural pada individu.
Opini ini seolah mengalihkan kesalahan atas permasalahan jaminan hak dasar rakyat oleh pemerintah berkuasa kepada orang miskin, terpinggir. Justru mereka adalah kelompok paling rentan terdampak kebijakan bodoh para penguasa yang selalu memihak para oligarki ketimbang menyejahterakan rakyatnya. Jadi jika kita tarik benang merah maka sistem saat ini lah yang menjadi akar masalahnya. Sistem kapitalisme yang bobrok telah terbukti gagal menjadi sistem yang adil dalam mengatur urusan rakyat.
Negara yang harusnya bertanggung jawab pada hak dasar rakyat malah justru menjadi pemulus keinginan tuannya. Memiliki anak adalah fitroh manusia. Baik orang kaya atau miskin berhak memiliki anak. Jadi bukan miskinnya yang jahat, tapi sistem saat inilah yang jahat. Maka sudah selayaknya kita mengganti sistem bobrok ini dengan sistem yang jauh lebih baik, yakni sistem yang datang dari pencipta manusia, sistem Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H