Lihat ke Halaman Asli

Shita Istiyanti

Penulis Opini, desainer grafis

Miris Balita Stunting di Malang 93,8% Dipicu Paparan Rokok!

Diperbarui: 18 Mei 2024   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Lebih dari tiga ribu balita di Malang mengalami stunting. Parahnya mayoritas balita ini mengalami stunting akibat paparan asap rokok dari keluarganya. Dari hasil audit stunting Kota Malang terdapat 93,8% balita menjadi perokok pasif, faktor lain yakni keluarga yang BAB sembarangan sebanyak 36%, balita tidak menerima air susu ibu eksklusif 28,4%, dan riwayat ibu dengan kekurangan energi secara kronis sebanyak 16.9%. Lebih ironis lagi bahwa balita yang terpapar rokok tadi berasal dari keluarga miskin (mediaindonesia.com 15/05).

Stunting memang menjadi PR besar, tak hanya di kota Malang namun juga di Indonesia. Diantara pemicu yang sangat sering adalah paparan zat beracun (seperti rokok,polusi udara dll), kurangnya asupan gizi baik karena ortu minim literasi maupun kemiskinan, seringnya terjadi infeksi, sanitasi yang tidak memadahi dll. Ini menjadi PR besar kita bersama terutama pemerintah dalam mengedukasi masyarakat, menjamin kebutuhan gizi mereka, hingga memberikan tempat yang layak bagi para balita ini bertumbuh.

Namun sayangnya, pemerintah disini hanya bersikap sebagai regulator saja. Upaya yang dilakukan pemerintah nyatanya hanya pemanis kebijakan belaka tak menyentuh akar masalahnya.

Sebagai contoh pemerintah melalui Kemenkes setidaknya memberi tiga kebijakan. Pertama pemberian TTD (tablet tambah darah) bagi remaja putri dengan harapan para calon ibu ini terhindar dari anemia ketika nanti mengandung. Pertanyaannya apakah cukup membuat calon ibu generasi ini selamat dari anemia? Padahal mereka tidak paham masalah gizi, makan mereka tetap sembarangan, bahkan tak sedikit yang makanan mereka tak bisa memenuhi zat gizi karena kondisi ekonomi. Penambahan TTD akan sia-sia jika pola hidup remaja ini masih berantakan atau bahkan kesulitan mengakses zat gizi.

Ke-2 pemerintah melakukan pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, guna mencegah anemia. Namun pada praktiknya ibu hamil tak hanya butuh makanan tambahan sedangkan sehari-hari mereka juga kesulitan bertahan hidup dengan harga pangan yang semakin melambung.

Ke-3 pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Pada prakteknya juga pemberian makanan tambahan hanya saat posyandu, itupun sebulan sekali. Maka apakah bisa memenuhi kebutuhan protein anak sehari-hari. Tentu jauh sekali! Dari kebijakan ini terlihat bahwa kebijakan pemerintah hanyalah pemanis saja. Masalah dasar dari stunting ini tak tersentuh sedikitpun.

Jika masalah terbesar adalah paparan zat berbahaya, maka edukasi masyarakat tentang bahaya rokok haruslah dilakukan. Tak hanya itu pembatasan bahkan penutupan pabrik-pabrik rokok juga perlu dilakukan. Namun nyatanya pemerintah tak berani menyentuh industri raksasa itu. Pasalnya terdapat 166 pabrik rokok di Indonesia (antaranews.com 02/04) yang menyumbang 40,3 triliun pendapatan negara melalui cukai. Paradigma kapitalis yang diterapkan di negri ini pastilah menilai segala kebijakan hanya pada untung rugi materi saja. Sehingga jika pabrik-pabrik raksasa ini ditutup pasti akan merugikan segelintir orang berdasi. Nasih generasipun diabaikan.

Pun jika masalahnya adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi zat gizi balitanya maka harus juga ditangani akar masalahnya. Lagi-lagi sistem kapitalis dengan paradigma materialisnya akan meniscayakan perekonomian hanya berpusat pada para pemilik modal. Mereka bisa mengendalikan harga pasar, sehingga terciptalah kesenjangan. Para oligarki ini akan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk mereka, sedangkan rakyat semakin terjerat dengan kemiskinan dan melambungnya harga pangan. Pemerintah hanya regulator saja pelicin kepentingan para kapitalis ini.

Bisa kita lihat bahwa akar masalah dari semua ini tidak lain adalah penerapan sistem kapitalisme. Paradigma bejat yang menjadi tolok ukurnya telah menyiksa rakyat dan menyebabkan carut-marut ditengah masyarakat. Sudah saatnya kita campakkan sistem rusak ini dan kembali kepada sistem buatan pencipta manusia yakni sistem Islam. Wallahualambissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline