Ikrar ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”, memberi pengakuan dan penghormatan terhadap bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Bahasa Indonesia pada masa itu memiliki peran yang sangat agung, menjadi sarana komunikasi yang menghubungkan keberagaman yang ada di tanah air, serta menguatkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia. Namun, sayangnya, kini, bahasa Indonesia mulai terpinggirkan, bahkan oleh penuturnya sendiri. Perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi yang pesat telah menumbuhkan kebiasaan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris di kalangan masyarakat Indonesia. Kerap kali, mereka mengintegrasikan kosakata asing dalam komunikasi sehari-hari dalam upaya untuk mengesankan lawan bicara ataupun mempermudah pemahaman. Alhasil, kosakata asing tersebut terasa lebih nyaman digunakan sehingga banyak kosakata asing yang mereka tak tahu padanan dalam bahasa Indonesianya.
Kebiasaan menyelipkan kosakata asing tanpa sadar menunjukkan adanya persepsi bahwa bahasa asing lebih menarik dibandingkan bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak sadar menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia termasuk dalam golongan xenoglosofilia. Seorang Wikipediawan, bernama Ivan Lanin menyatakan bahwa seseorang yang termasuk dalam xenoglosofilia sering mencampurkan kosakata asing dalam berkomunikasi. Mereka beranggapan bahwa dengan menggunakan bahasa asing maka akan dianggap lebih maju dan bergengsi. Lebih-lebih, mereka menilai derajat seseorang dengan melihat penguasaan bahasa asingnya. Seorang xenoglosofilia merasa tak perlu mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar karena yang terpenting adalah penguasaan bahasa asingnya. Hal ini pun bertentangan dengan sikap positif berbahasa Indonesia, yaitu sikap yang mencerminkan kebanggaan terhadap bahasa sebagai identitas nasional, kesetiaan untuk terus menggunakannya dalam berbagai konteks, serta kesadaran untuk mematuhi norma kebahasaan guna menjaga kelestariannya sebagai alat pemersatu bangsa.
Bahasa asing sudah masuk ke dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di ruang publik. Ruang publik dapat diakses oleh siapa saja dan dapat digunakan untuk aktivitas apapun. Hal ini menjadikan ruang publik sebagai sarana penyebaran kosakata asing. Bukan hanya berimbas pada pembuatnya saja, tetapi juga masyarakat yang melihat ataupun menggunakannya. Ruang publik, yang mencakup jalan raya, gedung, toko, merek dagang, sampai media sosial, seringkali memunculkan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing ini digunakan untuk menarik minat masyarakat Indonesia. Misalnya, merek dagang yang berbahasa asing memiliki nilai estetika lebih tinggi dibandingkan merek dagang yang berbahasa Indonesia. Hal ini pun berpengaruh terhadap nilai jualnya, penggunaan bahasa asing dapat membuat patokan harga yang lebih tinggi, sementara penggunaan bahasa Indonesia yang dianggap kuno memiliki nilai jual yang lebih rendah.
Pengutamaan bahasa asing di ruang publik jelas regulasi yang ada. Hal ini pun sudah diatur dalam “Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pengutamaan Bahasa Negara di Ruang Publik”. Dalam surat edaran tersebut, Kepala Daerah dihimbau untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pengutamaan bahasa Indonesia dengan menempatkan/meletakkan bahasa Indonesia di atas bahasa lain. Adapun lima objek ruang publik yang diwajibkan pengutamaan bahasa negara, yaitu: (1) nama lembaga dan gedung; (2) nama bangunan, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, dan lembaga pendidikan; (3) penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum; (4) nama ruang pertemuan; dan (5) nama dan informasi produk barang/jasa.
Maraknya pengutamaan penggunaan bahasa asing di ruang publik menunjukkan eksistensi bahasa Indonesia semakin menurun. Menguasai bahasa asing bukanlah sebuah kesalahan, bahkan di era globalisasi, kita memang dituntut untuk memiliki kemampuan berbahasa asing. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah cara kita menempatkan penggunaan bahasa-bahasa tersebut. Lalu, bagaimana penempatan penggunaan bahasa yang benar?
Penempatan penggunaan bahasa pada masyarakat Indonesia harus sesuai dengan implementasi motto Trigatra Bangun Bahasa. Motto tersebut berisi tiga prinsip, yaitu utamakan bahasa negara, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Hal ini berarti menguasai bahasa asing merupakan sebuah keharusan. Namun, sebagai bangsa Indonesia, kita tetap harus menjadikan bahasa Indonesia sebagai prioritas utama. Ketiga bahasa tersebut, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, memiliki peranannya tersendiri di masyarakat. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, bahasa daerah sebagai warisan budaya lokal, dan bahasa asing sebagai adaptasi globalisasi dan komunikasi internasional. Untuk itu, penggunaan bahasa asing tidak boleh menggeser peranan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Berdasarkan Trigatra Bangun Bahasa dan “Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pengutamaan Bahasa Negara di Ruang Publik”, penggunaan bahasa asing dalam ruang publik diperbolehkan. Namun, hal ini harus sesuai dengan regulasi tersebut. Bahasa Indonesia harus ditempatkan di urutan pertama, diikuti dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Pentingnya hierarki ini berfungsi untuk mempertahankan identitas bangsa Indonesia. Adapun ilustrasi penempatan penggunaan bahasa yang benar di ruang publik, yaitu sebagai berikut.
Bahasa Indonesia
Bahasa daerah
Bahasa asing
Berikut contoh penerapannya.
Gambar tersebut menunjukkan implementasi Trigatra Bangun Bahasa dalam papan petunjuk jalan di Bandara. Mode komunikasi utama dalam gambar di atas adalah bahasa tulisan dengan menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia “Bandara Ngurah Rai” di urutan pertama dan bahasa Inggris “Ngurah Rai Airport” sebagai terjemahannya. Bandara sebagai ruang publik tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit, tetapi juga sebagai ruang yang mencerminkan identitas sosial dan budaya. Bandara sebagai pintu gerbang utama bagi turis dari seluruh dunia, sehingga penggunaan bahasa Inggris di urutan kedua memiliki fungsi untuk memfasilitasi pengunjung asing. Penerapan ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi prioritas utama.