Masih pada hari yang sama di hari pencoblosan calon legislatif tanggal 9 kemarin. Sore harinya tidak sengaja saya melihat beberapa postingan gambar yang cukup membuat saya tertarik perhatiannya. Tertarik. Pertama, karena lucu. Sebab postingan gambar tersebut merupakan foto dari kertas suara yang tidak di coblos melainkan digambar. Dan kedua karena orang tersebut membubuhi tulisannya dengan kata “dukung Tukijo.” Pada foto yang lainnya saya menemukan tidakan serupa dengan sebuah tulisan “saya golput.”
Melihat kejadian ini saya langsung teringat pada salah seorang street artist asal ingris bernama Bunsky yang memiliki hobi untuk melakukan kritik sosial melalui “coretan2” berupa gambar. Karya paling terkenal dari bunsky salah satunya adalah membuat sebuah grafity di dinding perbatasan perang palestine dan israel. Sehingga seolah dinding itu terkesan “berlubang.”
Dinding yang menjadi sebuah simbol “politik” pada saat itu. “politik” yang menakutkan, politik yang membatasi ruang gerak. Melalui karyanya, tembok itu akhirnya menjadi semacam pintu kepada “dunia lain yang di harapkan” yang berada “di luar sana.” Tentunya hal ini hanya mampu dilihat oleh mereka yang tengah bosan dengan kondisi yang sedang berjalan pada umumnya.
Di indonesia sendiri. Kita juga punya sedikit cerita mengenai dinding. Tentunya kita mengenal sebuah lagu berjudul “coretan di dinding.” Sebuah judul lagu yang liriknya ditulis dengan begitu gemasnya oleh Iwan Fals. Dan lagi-lagi sebuah dinding sebagai mediumnya. Mengapa? Karena pada saat itu dinding-dinding jalanan adalah sebagai simbol dari “yang politik” pada saat itu. politik pembangunan yang memenuhi jalanan kota.
Di era reformasi yang sudah begitu bebas ini. dimana batas-batas yang mendinding sudah tidak ada lagi. Dimana ruang-ruang publik sudah sebegitu terbukanya. Bahkan kerap saya dengar lelucon. “jangankan masyarakatnya, wong mahasiswanya juga bingung mana yang bisa kita jadikan simbol untuk di lawan?.” Tapi sepertinya kali ini justru pertanyaan itu terkesan sudah tidak relevan lagi sepertinya. Dengan kehadiran seni mencoret-coret kertas suara. Saya kira semua hal bisa kita suarakan. Kita akan bisa ramai-ramai membuat semacam gambar-gambar tentang “dunia lain yang di harapkan” yang berada “di luar sana.” yang bisa disaksikan oleh banyak orang. Tanpa harus golput-golput lagi. Sebab, kertas suara adalah sudah pasti satu-satunya simbol “yang politik” dalam iklim demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H