Lihat ke Halaman Asli

Yang Baru, Jurnalisme Keberagaman

Diperbarui: 26 Maret 2017   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Yogyakarta - Jumat, 24 Maret 2017 telah dilaksanakan bedah buku Jurnalisme Keberagaman. Buku ini merupakan karya Usman Kasong (Direktur Pemberitaan Media Indonesia). Acara Bedah buku diselenggarakan di Ruang Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Acara ini dimoderatori oleh Anang Zakaria (Aliansi Jurnalis Independen) dan didukung oleh Lukas Ispandriarno (Dosen FISIP UAJY), Widiarsi Agustina (Ka Biro Tempo DIY & Jawa Tengah) dan Agnes Dwi Rusjiyati (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika) sebagai penanggap. Acara ini diselenggarakan guna mendukung perkembangan alur pikir kritis mengenai perkembangan jurnalisme baik di ranah studi maupun praktis. Buku mengenai Jurnalisme Keberagaman ini mengangkat berbagai isu menarik mengenai perjalanan jurnalisme hingga ke ranah Jurnalisme Keberagaman.

Diskusi dibuka oleh moderator "ternyata semua agama mendukung para pemeluknya untuk menghargai keberagaman", kata Anang Zakaria. Inilah poin penekanan bahwa keberagaman seharusnya bisa menjadi keunggulan dalam keharmonisan. Hal seperti itulah yang dirujuk sebagai keberagaman.

Keberagaman menurut Usman dimaksudkan bahwa di dalam yang beragam pasti ada yang berbeda. Konteks perbedaan ini ada pada konteks agama, etnik dan gender. "Hanya Tuhan yang satu, yang lainnya beragam", jelas Usman. Keberagaman ini kemudian merujuk pada konteks demokrasi. 

Bagi Usman Kasong, buku Jurnalisme Keberagaman ini lahir karena sebuah kata-kata kesabaran. Usman telah mengamati semenjak Indonesia memasuki masa reformasi dari order baru mengenai politik identitas. Pada waktu itu masyarakat mulai berani menunjukkan identitasnya. Kelompok-kelompok minoritas mulai berani berbicara, seperti misalnya Ahmadiyah dan kelompok-kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). 

"Institusionalisasikan demokrasi, negara dikatakan berhasil kalau sukses untuk melembagakan pola/sistem politik yg ada di masyarakat", jelas Usman. Jurnalisme ini bagian dari keberagaman. Ini berarti pers sebagai civil society punya peran untuk mengkonsolidasikan demokrasi.

Advokasi dan empati harus digunakan sebagai landasan prinsip bagi jurnalisme. Jurnalis harus dapat mengedepankan jurnalisme damai dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan membela korban. Tak hanya itu, jurnalis juga harus berperspektif gender.

Bagi Lukas Ispandriarno, ada banyak foto-foto yang menarik yang disertakan dalam buku ini. Namun kemudian, masih menjadi pertanyaan, bagaimana media bisa menerobos dominasi kelompok mayoritas? Tentunya ini adalah hal yang tidak mudah.

"Independensi adalah hal mutlak bagi seorang jurnalis", jelas Widiarsi. Menurut Widiarsi, jurnalis harus taat kepada kebenaran dan tekun melakukan verifikasi di lapangan. "Jurnalis banyak yang tidak berani menyampaikan fakta di lapangan, seperti pada kasus Camat Pajangan", jelas Agnes Rusjiyati. Hal ini mengacu pada minat jurnalis, terutama bagi jurnalis yang lebih percaya pada media sosial. Trending topics dijadikan acuan dalam menyampaikan berita.

Bagi Usman, berita itu harus berimbang. Berimbang di sini bukan berarti harus sama, namun harus proporsional. Jurnalis harus mengedepankan fakta dan indepensi. Jangan sampai melakukan judgment yang mengarahkan pada penggirinan opini publik untuk menilai untuk bahkan membenci agama, etnik dan perspektif gender tertentu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline