Kekerasan dalam keluarga hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, menambah daftar panjang hitam kriminalitas di Indonesia. Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights, hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A juga secara tegas menyatakan "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya." Oleh karena itu, kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) menjadi kejahatan yang paling tinggi hierarkinya dalam klasifikasi kejahatan internasional serta memiliki hukuman yang paling berat dalam KUHP Indonesia. Kasus kejahatan pembunuhan adalah kasus-kasus yang terjadi akibat kejahatan tindakan pembunuhan, yang merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Buku Kedua - Kejahatan, Bab XIX tentang Kejahatan terhadap nyawa yang mengakibatkan kematian.
Di Indonesia sendiri lebih dari 3000 orang dibunuh dalam 5 tahun terakhir. Dan pada kenyataannya sebagian besar dilakukan oleh kerabat atau orang yang dikenal. Yang kerapkali membuat miris adalah alasannya kadang begitu sederhana, lantaran perkara hutang-piutang, ekonomi, dendam, sakit hati dan masalah percintaan. Yang sesungguhnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Kasusnya pun kadang membuat kita 'mengelus dada' atau 'geleng-geleng kepala', karena bukan hanya alasannya yang seringkali sepele, namun dilakukan oleh keluarga sendiri, bahkan akhir-akhir ini pembunuhan orangtua ke anak-anaknya atau anak ke orangtuanya cukup marak terjadi. Padahal wujud cinta kasih orangtua dan anak dapat dianggap merupakan wujud afeksi cinta tertinggi di dunia, seringkali sebagai salah saatu perwujudan cinta kasih Sang Pencipta kepada ciptaannya.
Lalu apa kira-kira penyebabnya? Jika dirunut dari sisi psikologi manusia keinginan untuk melenyapkan atau menghilangkan nyawa orang lain dianggap karena kita tidak bisa mengontrol atau menata emosi pribadi kita. Emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting baginya. Emosi diwakili oleh perilaku yang mengekpresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yag sedang dialami. Emosi biasanya berbentuk feeling "sebuah perasaan" aspek dari kesadaran yang ditandai dengan reaksi fisik tertentu, atau perilaku tertentu yang ditampakkan ke luar. Secara fisik, seorang yang mengalami emosi mendapatkan dorongan yang diciptakan oleh sistem saraf simpatetik.
Detak jantung meningkat, nafas menjadi teratur, pupil membesar, dan mulut menjadi kering. Perubahan juga terjadi pada ekspresi wajah menjadi sulit dilakukan sebab terdapat ekpresi wajah yang hampir mirip saat seorang takut atau marah. Dalam kehidupan manusia selalu mengikutsertakan emosi dalam berbagai peristiwa yang dialami baik itu yang membahagiakan, mengecewakan, menakutkan, menjengkelkan dan sebagainya. Dalam buku "Law of Effect" karya Thorndike menjelaskan jika sesuatu membuat seseorang senang, bahagia, atau puas, maka dia akan cenderung mengulang perbuatan tersebut. Sebaliknya sesuatu yang menyebalkan cenderung untuk dihindari. Dengan kata lain, seseorang yang mendapat respons memuaskan dari apa yang ia lakukan akan tertarik untuk mengulanginya pada kesempatan lain bahkan dengan intensitas lebih tinggi tanpa mempertimbangkan dampak yang diperoleh. Dan akhirnya cara memuaskan diri ini berdampak negatif terhadap sekitar.
Emosi dapat dikendalikan dengan baik melalui regulasi emosi. Dalam saalah satu Jurnal "Equality Before The Law" mengungkapkan individu yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif, tetapi individu yang tidak dapat mengendalikan emosi dapat dikatakan memiliki regulasi emosi yang rendah, sehingga cenderung melampiaskan dalam bentuk perilaku maladaptif. Regulasi emosi adalah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada Tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi perbuatan yang berhubungan dengan emosi. Ketika kita tidak bisa meregulasi emosi kita, ada baiknya kita meminta bantuan ahli seperti psikiater atau psikolog. Meminta bantuan profesional kejiwaan di Indonesia kerap masih dianggap tabu oleh beberapa golongan dan lapisan masyarakat.
Seperti halnya fisik yang bisa terluka dan harus diobati, maka mental dan jiwa pun perlu dipelihara, dijaga dan diobati. Sulitnya adalah ketika penyakit fisik lebih mudah untuk dilihat, diukur dan lebih jelas terapi pengobatannya, namun tidak demikian dengan penyakit mental. Kesan yang didapat jika kita meminta bantuan profesional adalah manusia dianggap atau menganggap dirinya 'gila'. Padahal meminta bantuan pada orang lain sebelum keadaan semakin memburuk justru mencegah perilaku 'gila' tersebut. Pada kenyataannya harus dipahami oleh setiap insan bahwa menghilangkan nyawa seseorang termasuk diri sendiri (bunuh diri) bukanlah jalan keluar. Ketika kita mencapai tujuan itu tidak adalah lagi kedamaian dalam batin kita, meskipun kita berhasil lolos dari hukum dunia, kita akan kehilangan lebih banyak lagi daripada kekecewaan dan rasa sakit ketika orang tersebut masih hidup. Mencoba menyelesaikan masalah dan berdamai dengan keadaan adalah bentuk proses keberhasilan melewati proses kehidupan. Sejatinya hidup adalah proses, baik-buruk, sakit-sehat, sedih-senang, terluka-bahagia, menangis-tertawa. Semoga kelak kita dapat hidup berdampingan dengan berusaha untuk lebih bertolernsi dan memandang serta mengasihi orang lain seperti memandang diri kita sendiri.
"Murka sesaat menyulut pembunuhan, nyawa begitu mudah hilang disertai penyesalan."- Najwa Shihab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H