Lihat ke Halaman Asli

Jangan Paksa Aku, Ma… (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">Brakk….

span 'sans-serif';">Telepon kututup dengan setengah kubanting karena kesal. Ini bukan pertama kalinya, mata ini menitikkan air mata yangmenggambarkan kesedihan dan kekesalan terhadap suamiku. Ya, suamiku,, sosokyang pernah kurasakan indahnya cinta kami hanya 2,5 bulan ditahun pertama kami menikah. Suamiku, mengapa kau berubah ketika kau berada di negara asalmu? Mengapa kau hanya menelponku sebulan sekali dan tidak pernah lebih dari 10 menit? Mengapa kau mengunjungiku hanya setahun sekali dan tidak pernah lebih dari 2 hari? Mengapa kau tidak pernah memberiku nafkah selama ini padahal usia pernikahan kita memasuki 5 tahun? Mengapa kau tidak pernah mempertemukanku dengan ibumu? Mengapa kau menikah lagi dibelakangku? Aaahh segudang “mengapa” selalu berputar diatas kepalaku tanpa pernah mendapat jawaban darimu, suamiku.

span 'sans-serif';">…

span 'sans-serif';">Sebut saja namaku Fira. Ayahku bersuku Sunda, Ibuku Betawi. Nenekkudari ibuku berdarah Minang dan Kakekku merupakan orang Arab asli. Keanekaragaman suku dari keluarga ku ini sangat membuatku senang karena aku terlahir dengan melimpahnya budaya antar suku dan ini sangat membuatku senang mempelajari tiap budaya dari suku yang mengalir dalam darahku. Semua kehidupanku berjalan lancar dan normal-normal saja, ku punya banyak teman, 1 peer group serta pacar yang menyayangiku. Hingga sampai pada suatu hari, saat diriku menginjak usia 24 tahun semua kehidupanku mulai berubah drastis. Sore itu, yaa tepat di hari Sabtu, saat aku tengah bersiap dijemput pujaan hatiku, mama dan papa mengetuk pelan pintu kamarku.

span 'sans-serif';">Tok..tok…

span 'sans-serif';">“Fira, sudah rapih, Nak?” tanya Mama

span 'sans-serif';">“Iya, sebentar lagi” sahutku dari dalam kamar. Ku masukkan segera dompet ke dalam tas tanganku, dan ku tarik segera tas itu.

span 'sans-serif';">“Fira sudah rapih Ma, 5 menit lagi Rendi datang, Fira ijin keluar sama Rendi ya, Ma” Ucapku setelah membuka pintu.

span 'sans-serif';">“Duduk sini, anak Mama sayang, ada yang mau kami bicarakan tentang masa depanmu” Sahut Mama pelan sambil merapikan rambutku.

span 'sans-serif';">Nada ucapan mama memang terdengar lembut namun aku merasa ini adalah pembicaraan penting, tidak biasanya mama ingin membicakan hal penting disaat aku ingin pergi.

span 'sans-serif';">“Anak papa, Fira, khan sudah besar, sudah waktunya mengetahui suatu rahasia” ujar Papa dengan raut muka serius. Mendengar suara Papa, darahku mendadak terkesiap. Rahasia? Ada rahasia apa yang disembunyikan Papa dan Mama dariku? Ahh ingin sekali aku mendengar rahasia ini tapi hp ku baru saja bergetar, Rendi sudah mengirimku sms, Rendi sudah sampai di depan gerbang komplek perumahan kami.

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">“Ma, Pa, sebenarnya Fira ingin sekali dengar rahasia itu, tapi Rendi sudah sampai di depan gerbang komplek” rayu ku.

span 'sans-serif';">“Tidak, Nak, Fira sayang harus dengar rahasia dan ini semua juga ada hubungannya dengan Rendi” ucap mama dengan nada penuh tekanan tinggi.

span 'sans-serif';">“Baik Ma, Fira siap mendengarkan” ujarku seraya membetulkan posisi duduk agar lebih fokus dalam mencerna pembicaraan ini.

span 'sans-serif';">“Fira, dengar Nak, sebelum almarhum kakek meninggal, kakek berpesan kepada kami agar Fira bila sudah dewasa, kelak harus menikah dengan pria yang berasal dari Arab ataupun keturunan Arab.Beberapa hari yang lalu salah satu kolega kerja Papa yang keluarga Arab pun sedang mencari gadis untuk dipersunting anak lelakinya. Papa dan teman papa setuju untuk menjodohkan anak kami dalam ikatan pernikahan. Namanya Said, sedang menyelesaikan S2 di Kairo, sebagian besar keluarganya tinggal di Kairo, namun papanya bekerja di Indonesia. 3 bulan lagi Said akan berkunjung ke Indonesia, oleh karena itu cukuplah bagi kamu untuk mempersiapkan diri bertemu calon suamimu”

span 'sans-serif';">“Apa calon suami!” teriakku

span 'sans-serif';">“Pa, Ma kenapa tiba-tiba Fira dijodohkan seperti ini? Papa dan Mama khan tahu, Fira sudah punya Rendi, dan kami serius dalam hubungan kami. Akhir tahun ini, keluarga Rendi akan datang ke Jakarta untuk melamar Fira” ucapku membela diri.

span 'sans-serif';">“Tidak Fira, kamu harus menurut dengan kami, ini untuk masa depanmu. Ini sesuai dengan pesan kakek” tegas papa

span 'sans-serif';">Tok tok tok

span 'sans-serif';">“Assalamu’alaikum”

span 'sans-serif';">Terdengar ketukan serta salam dari arah pintu. Sejenak perdebatan kami berhenti.

span 'sans-serif';">“Ma, biar Papa yang urus Rendi, Mama bawa masuk Fira ke kamar” perintah papa.

span 'sans-serif';">“Tidak pa, Fira tidak mau ke kamar, Fira mau bersama Rendi, Fira mau keluar sebentar mencari hadiah ulang tahun untuk mamanya Rendi pa” kataku.

span 'sans-serif';">Papa hanya menoleh ke arahku tanpa menggubris kata-kataku, sedang mama berusaha mengajakku ke kamar. Gagang pintu dibuka papa, kulihat Rendi tersenyum ke arah papa dan mulutnya mulai bersiap terbuka untuk meminta ijin pergi bersamaku namun dengan cepat papa mengucapkan hal paling membuatku sedih.

span 'sans-serif';">“Rendi, mulai hari ini, detik ini juga jangan coba-coba dekati anak saya Fira, karena Fira tidak boleh berhubungan denganmu lagi. Fira sudah punya calon suami dan akan segera menikah” Tegas Papa.

span 'sans-serif';">Senyum yang terkembang di bibir Rendi pun langsung berubah, wajahnya nampak pucat mendengar ultimatum papa.

span 'sans-serif';">“Tapi Pak Drajat, saya…”

span 'sans-serif';">“Kamu tidak dengar ucapan saya! Apa perlu saya tekankan sekali lagi kalau Fira sudah mempunyai calon suami! Cepat segera angkat kaki dari rumah ini” bentak papa

span 'sans-serif';">“Rendiiii, itu bohong, aku tidak punya calon suami seperti yang dikatakan papa, Rendi kamu harus percaya aku, Ren..” ujarku penuh kekhawatiran.

span 'sans-serif';">“Pergi sana” kata Papa lagi, setelah itu papa langsung menutup pintu dan menguncinya.

span 'sans-serif';">Derai air mata mengalir deras di wajahku. Sejak saat itu, aku tidak pernah keluar rumah selama 3 bulan, bahkan aku dipaksa resign dari tempat kerjaku padahal jabatanku sekarang sudah menjadi asisten manager. Sebuah jabatan yang kudapat dengan perjuangan melawan para pesaingku dari berbagai lulusan universitas-universitas negeri di Indonesia. Blackberry, Ipad disita papaku. Twitter, facebook, skype serta beberapa situs jejaring sosial dan messenger pun tak bisa ku akses karena modem dan akses wifi dirumah dimusnahkan.

span 'sans-serif';">3 bulan lamanya tanpa alat komunikasi dan informasi,akhirnya papa mengembalikan semua fasilitas itu. Itu semua demi dilakukan ayah agar Said bisa berkomunikasi dengan ku. Hari pertama mendapatkan bb ku, langsung ku tekan tombol angka 1 yang selama ini telah ku setting untuk speed dial no hp Rendi. Nada sambung langsung terdengar, kurasakan detak jantungku sangat kuat berdebar karena tak sabar mendengar suara Rendi.

span 'sans-serif';">“Halo, Ren”

span 'sans-serif';">“Halo, eh eh ini fira ya? ” suara rendi tampak tidak seantusias aku dan malah terdengar gugup.

span 'sans-serif';">“iya, ini aku fira, Fira kangen banget ma Rendi, Rendi apa kabarnya? tau ga Ren? hari ini Fira boleh pake hp lagi, jadi bisa ngobrol ma Rendi lagi, Renkita ketemu …”ucap ku

span 'sans-serif';">“iya.. iya ..iya fir.. kabar aku bae, ehmmm aku mau ada urusan…”balas Rendi

span 'sans-serif';">Ucapanku terpotong oleh Rendi dan lagi-lagi suara Rendi gugup.

span 'sans-serif';">“Ren, lagi dimana? Kita ketemuan yuk?” sahutku

span 'sans-serif';">“aku sibuk fir, aku harus …. Oohkantor lagi banyak kerjaan, jadi ga bisa ketemuan dulu ya” kata Rendi

span 'sans-serif';">“ya udah, kalo gitu besok aja kita ketemuannya” ajak ku

span 'sans-serif';">“ besok juga aku kayaknya ga bisa, aku harus meeting sama klien” ujar Rendi

span 'sans-serif';">“Sayang, siapa yang telp? Koq kamu lama banget nelponnya” terdengar suara wanita lain

span 'sans-serif';">“Dia siapa Ren? Kenapa manggil kamu say..” tut tut tut terdengar suara mengakhiri telp. Aku langsung memeriksa apakah pulsa habis dan baterai hp ku lowbatt sampai telp kami putus. Ahh bukan keduanya, berarti Rendi yang menutup telp ini. Ku coba menelpon kembali Rendi.

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">“Telp yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar area, cobalah beberapa saat lagi” tut tut tut

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">Suara manis dari bagian informasi semakin membuatku gelisah. Sepanjang pembicaraan Rendi terdengar gugup, lalu ada suara wanita yang memanggilnya sayang, lalu telpku diputus oleh Rendi dan sekarang giliran hp Rendi langsung tidak aktif. Ada apa ini semua? Apakah Rendi tidak menyayangiku lagi? Apakah Rendi telah menemukan pengganti aku? Hatiku hancur memikirkan hal ini.Seharian ini ku coba menghubungi Rendi, namun nihil yang kudapat. Aku pun hanya terdiam lesu sambil menghabiskan sekotak tisu untuk kedua mataku ini.

span 'sans-serif';">Ditengah kesedihanku, Said masuk kedalam kehidupanku. Said rutin menelponku untuk memberikan perhatiannya, menghiburku. Papa merencakan pertemuan kami. Said, sepertinya pemuda yang baik. Dia sangat santun, ibdahnya pun rajin. Datang ke Jakarta untuk membantu bisnis ayahnya selama 4 bulan. Hampir setiap hari Said berkunjung ke rumah. Pemuda yang awalnya sangat kubenci ternyata dia sangat humoris dan baik. Selama mengenalnya, aku sering tertawa mendengar cerita-cerita lucunya. Said tidak pernah menampakkan muka masam sedikitpun didepanku, apalagi marah. 3 bulan mengenal Said, membuat hatiku lambat laun pun mulai terbuka untuk Said. Papa Said “Ahmed” dan Orangtuaku segera mempersiapkan pernikahan kami. Pernikahan yang sederhana. Hanya melakukan akad nikah dirumahku. Aku pun tidak memiliki buku nikah karena kami menikah siri. Status Kewarganegaraan Said sebagai WNA serta terbatasnya waktu Said di Jakarta menjadi alasan-alasan mengapa aku dan Said hanya melakukan akad nikah saja. Namun Said berjanji kalau dalam beberapa bulan ke depan akan pulang ke Jakarta untuk menggelar acara resepsi kami. Seminggu menjadi pengantin baru, aku merasa bahagia sekali, sayangnya kebahagianku berangsur hilang menjadi kesedihan. Tak terasa sudah 4 bulan berada di ibukota Indonesia. Sudah waktunya Said kembali ke Kairo. Sedih, kangen serta takut kehilangan, semua bercampur aduk menjadi satu saat mengantarkan suamiku ke bandara. Said meyakinkan aku agar dia pasti kembali lagi dalam waktu dekat dan memintaku bersabar. Akhirnya aku berusaha untuk memahami alasannya dan bersabar. Sabar pun menjadi teman dalam keseharianku. Sehari, dua hari, sebulan, dua bulan bahkan menginjak 1 semester suamiku tidak kembali ke Indonesia. Sebulan sekali hp ini berdering, meskipun hanya 10 menit per bulan tapi aku sudah cukup bahagia mendengar kabarmu.

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">To be continued…..

span 'sans-serif';">

span 'sans-serif';">

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline