Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Membuat Anda Tegar ? ( Kisah Ketegaran Seorang Istri )

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah pertanyaan simpel yang hanya terdiri dari 5 komponen kata terlontar dalam tulisan oleh salah satu rekan kerja ku. Tegar,,, ahhh sepertinya kata itu tidaklah tepat ataupun pantas untukku. Timbul sebuah pertanyaan untuk rekanku tersebut; apa yang membuat anda berpikiran ataupun berprasangka bahwasanya kata tegar itu cocok disandingkan dengan keadaan ku saat ini? Bukan “tegar’ yang pantas untukku, tetapi kata “berusaha terlihat tegar” mungkin lebih cocok untukku.

………

2x24 jam

Sebuah sub judul dalam buku karangan Asma Nadia dalam bukunya catatan Hati Seorang Istri. Seorang istri yang kehilangan suaminya dalam penantian sakitnya 2x24 jam. Inge sang istri sholehah itu sangat tegar dalam mengahadapi ujian itu. Mungkin muncul suatu perenungan untuk diriku sendiri,, Inge kuat bertahan dalam mengahadapi Ujian Allah itu karena sang istri sholehah memiliki permata hati, buah cinta dengan sang ustad tercinta, sedangkan aku?? Aku  tidak memiliki “kenangan terindah suami” yang bisa dipandangi tiap tumbuh kembangnya maupun “kenangan terindah suami” yang menjadi buah cinta dan bukti nyata dengan suami tersayang.

Aaah,, maafkan aku ya Allah, aku tidak ingin membandingkan oranglain dengan diriku, aku tidak ingin memiliki rasa keirian akan hadirnya seorang permata hati dibandingkan Inge sang istri sholehah. Aku khawatir membandingkan itu akan menjadi wujud rasa tidak pandainya bersyukur kepada-Mu. Aku percaya bahwa belum hadirnya hadiah terindah-Mu itu semua beralasan sangat baik untukku, tidak hanya dibutuhkan kesabaran serta keikhlasan dalam hal itu. Seorang tamu berkata bahwa bila seorang ibu hamil dari sang suami yang mendapat “penghapus dosa; penyakit kanker” , maka biasanya sang anak kelak memiliki potensi yang lebih besar untuk mendapatkan “penghapus dosa” yang sama. Sang anak kelak bisa menderita dari awal hingga akhir hidupnya, karena fase penyakit kanker adalah 10 tahun, dan tiada yang akan bisa mengira kapan datangnya “penghapus dosa” itu pada tubuh sang anak kelak. Ku tak ingin sang anak kelak menderita, merasakan sakit bahkan melihat tubuh yang menurun berat badannya di tiap harinya. Ku yakin, tak kan sanggup melihat kenyataan yang akan terulang kembali ini pada sang anak kelak.   Ya Rabb, mungkin ini jawabannya mengapa hamba-Mu belum memiliki permata hati terindah dari-Mu. Lagi-lagi rencana Allah mulai bisa terkuak dan bisa tercerna olehku. Semoga rencana-Mu ini menjadikan ku tambah bersyukur.

Lalu apa yang membuat ku tegar???

Jika Inge sang istri sholehah hanya mempunyai 1 alasan kenapa bertahan dari semua ini, mungkin akan ku tulis alasan “usaha terlihat tegarku”. Tidak Cuma 1, tapi beberapa. Kalau hanya satu, tidak akan mungkin aku terlihat tegar. Aku butuh beberapa agar bangkit dari kesedihan mendalam ini.

1. Janji…..

Suatu sore, ibunda tercinta menanyakan keseriusanku dalam menikah. “De kamu yakin menikah dengan mas?, Kamu harus siap dengan segala resikonya, termasuk pada saat hari H pernikahan, apakah dia akan kuat berdiri atau hanya bisa bersalaman sambil duduk atau tidak kuat kedua-duanya selama pesta kebahagiaanmu” tanya mama beruntun.

“iya ma” sahutku singkat dan pasti.

“termasuk kesiapanmu dalam merawat mas sejak awal pernikahan?” Mas terkena penyakit yang tidak bisa dikategorikan penyakit ringan lho, De”  pertanyaan ini seolah menguji kesiapan mental ku dan melihat apakah terselip keraguan akan menikah atau tidak.

“insya  Allah ma, memang kenapa ma?”

“ada yang ingin mama bicarakan, De” rona muka mama terlihat sangat serius, tidak seperti biasanya. Ku matikan tv dan segera duduk di hadapan mama.

“Sebenarnya ada apa ma?” tanya ku pelan

“Ada tetangga yang menyarankan untuk menunda pernikahan ini, bahkan salah satu keluarga kita pun menyarankan hal yng sama. Pernikahanmu diharapkan diundur mungkin beberapa bulan, 1, 2 atau 3 bulan sampai keadaan mas lebih sehat dan penyakit mas berangsur-angsur pulih. Mereka ingin kita semua fokus kepada pengobatan mas. Tapi Itu hanya usul serta pandangan orang disekitar kita sayang, namun semua keputusan ada ditanganmu.  Mama percaya kalau mas itu orang yang baik, sangat baik. “ jelas mama dengan hati-hati.

Ku dengar kata-kata mama dengan seksama. Ada rasa pedih diam-diam menyelinap menusuk hatiku. Tunda, kata yang tak pernah terbesit dalam benakku dan benak mas. Teringat beberapa hari yang lalu ku berpura-pura ngambek dan berpura-pura memikirkan jadi tidaknya pernikahan kami. Rasa sesakpada bagian dada langsung mendera mas. Mas tahu kalau ucapanku bercanda, hanya saja memikirkan bercanda saja, tubuh mas langsung bereaksi menolak atas joke itu. Wajahku berubah pucat panik  melihat sang calon imam merasa sakit. Aku pun langsung meminta maaf berkali-kali dan tidak bercanda seperti itu. Kini tak kubayangkan bila aku mengatakan tunda tuk pernikahan kami dengan nada tidak main-main serta raut wajah yang serius. Bagaimana reaksi tubuhnya saat ku katakan itu!!!

Tidak,buru-buru Ku hapus segera bayangan dari saran serta usulan mereka. Ku hela nafas yang panjang, sambil berucap basmalah dalam hati untuk melanjutkan percakapan ini.

“Ma, ade sepenuhnya tidak ingin menunda, apalagi membatalkan pernikahan karena ini sudah rencana kami sejak lama. Ade yakin mas orang yang tepat tuk ade. Mas orang yang soleh dan sangat mengerti ade. Ade tidak ingin sakit menjadi alasan tertundanya pernikahan. Pihak keluarga mas saja tidak terlihat ingin memundurkan tanggal pernikahan, masa keluarga kita harus memundurkan pernikahan hanya gara-gara sakit?” ujarku membela pendirianku.

Kali ini ku tarik nafas panjang dan menghelanya lebih berat, seakan ada beban berat dijatuhkan di pundakku.

“Ma, sekarang Ade terserah mama, Ade tidak ingin mengundur pernikahan, tetapi ade mau mama memberikan ridho untuk kelangsungan pernikahan Ade dan Ade tidak akan menikah jika tidak memiliki ridho dari mama” ucapku pelan dan pasti. Kutatap lekat-lekat wajah mamaku. Menunggu sebuah jawaban yang menentukan masa depanku.

“Kamu siap merawat mas? Kamu siap dengan segala resiko atas penyakit itu?  Kamu janji untuk kesiapan mentalmu jika kemungkinan terburuk terjadi? Apa kamu siap untuk itu semua?  tanya mama lebih serius lagi.

“Insya Allah siap dan yakin ma” sahutku mantap.

“Mama restui kalian, dan mama ridho atas pernikahan kalian” ujar mama

Setetes embun pagi laksana penyejuk hati seolah mengalir dalam tubuhku.

“Makasi ma, Ade janji akan siap dengan segala resiko atas penyakit mas. Makasi ridho mama” ucapku sambil ku peluk wanita tengah baya yang berada di hadapanku.

Hingga kini janji itu menjadi penguat atas diriku. Janji yng mampu mengalahkan saat tubuh ini berada di titik lemah saat kehilangan mas. Janji yang mampu menahan pingsan  sehingga membuatku terjaga dan mengalihkannya menjadi kekakuan bagi kedua tanganku. Ya, tanganku seolah mati rasa atau lumpuh sesaat saat detik-detik jiwa suami solehku dibawa pergi oleh utusan Allah.

---------

Sebongkah batu kesedihan seakan keluar dari sesaknya hati saat selesai menulis part 1 ini, membuatku smakin bernafas lebih lega dari sebelumnya. Kristal-kristal air segera bertumpuk dipelupuk mataku dan berebut untuk keluar dari tempatnya saat membayangkan kejadian itu. Suami solehku, apa kabarmu disana? Semoga Allah meluaskan kuburmu. (Amin ya Rabb)

To be continued…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline