Lihat ke Halaman Asli

Nasib Pengemis di Yogyakarta dalam Genggaman Oknum Pragmatis [?]

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa kali saya melihat kumpulan pengemis yang diturunkan dari mobil pick up di beberapa titik keramaian di Yogyakarta. Apa yang terjadi di balik ini? Siapa oknum-oknum yang tega memanfaatkan pengemis-pengemis ini?

Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pariwisata. Banyak turis yang berdatangan di kota ini terutama ketika  musim liburan. Alun-alun dan Malioboro merupakan daerah wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan ketika berlibur di kota ini. Tak heran tempat-tempat tersebut menjadi sasaran oknum-oknum nakal untuk mendapatkan uang melalui tangan-tangan yang menengadah di pinggir jalan.

Bayu Laksmono, seorang Kepala Seksi Operasi Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta mengatakan bahwa ia menduga jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan para pengemis tersebut untuk mengeruk keuntungan (www.sorotjogja.com). Hal inilah yang dapat dijadikan sebab adanya berbagai papan imbauan untuk tidak memberi uang recehan pada pengemis. Lebih baik membawanya ke dinas sosial atau ke sanggar pembinaan daripada memberi uang yang belum tentu menjadi milik si pengemis. Opsi lain yakni bisa dengan membelikan pengemis makanan atau minuman sebagai bentuk rasa kemanusiaan yang tepat.

Realitas yang terjadi baru-baru ini yaitu adanya bos atau pemimpin di antara beberapa pengemis di suatu daerah di kota Yogyakarta tampak terlihat meminta para pengemis menyetor uang. Tampak pula sikap bos tersebut yang kasar terhadap para pengemis yang masih kecil. Miris hati saya melihat realita seperti itu. Anak kecil yang di bawah umur harusnya dapat menimba ilmu di sekolah malah dijadikan “sapi perahan” bos-bos pragmatis. Orang-orang yang melihat kejadian tersebut hanya sekedar melihat, mungkin karena mereka takut akan sifat preman si bos jika ingin melaporkannya. Kemungkinan kedua, karena saya sendiri tidak melihat polisi yang berjaga di dekat tempat tersebut sehingga orang-orang pun enggan untuk melaporkan hal itu.

Kalau sudah begitu, apakah nasib para pengemis itu memang hanya berada di tangan oknum pragmatis? Di mana keadilan berada? Di mana implementasi pasal 34 UUD 1945 itu ada? Papan imbauan hanya sebagian kecil upaya untuk menertibkan lalu lintas tapi belum dapat menyelamatkan pengemis yang tertindas. Terkait dengan pemberantasan oknum pragmatis seperti bos-bos pengemis, sudah ada upaya pemkot Yogyakarta yakni dengan mengerahkan petugas Satpol PP untuk merazia paksa para pengemis untuk dimintai keterangan siapa bos mereka dan selanjutnya di bawa ke Panti Pembinaan Sosial, Dinas Sosial DIY. Selain itu, ada denda yang telah ditetapkan Pemkot Yogyakarta terhadap pihak yang memanfaatkan ketidakberdayaan pengemis untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yakni sebesar Rp50 juta rupiah dan ancaman hukuman penjara satu tahun.

Yang sedikit melegakan adalah setelah mengetahui kabar dari Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X yang akan menyediakan lahan pertanian dan rumah bagi pengemis dan gelandangan agar mereka dapat bekerja halal dan tidak kembali mengemis yang dapat mengotori pemandangan di jalan raya. Berita itu saya ketahui dari www.jogja.co. Wacana tersebut memberi harapan para pengemis untuk dapat hidup sejahtera. Semoga saja proyek itu segera terealisasikan dengan baik agar pengemis dan gelandangan dapat sejahtera sebagaimana yang telah teramanatkan di dalam pasal 34 UUD 1945.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline