Lihat ke Halaman Asli

Isu Normalisasi Israel dengan Negara Teluk: Bahrain dan Uni Emirat Arab

Diperbarui: 15 November 2020   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image : Atalayar.com

Normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab, Bahrain dan Israel belakangan menjadi topik utama dalam berita Timur Tengah. Pasalnya, sejak pertengahan tahun isu tersebut terhembus, Uni Emirat Arab dan Bahrain akhirnya resmi menandatangi kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel (Abraham Accords)  di Gedung Putih, Amerika Serikat pada 15 September 2020.

Hal demikian dianggap menjadi sebuah langkah yang baik bagi Israel dalam mendapatkan pengakuan khususnya dari negara-negara Teluk. Namun fenomena tersebut banyak menimbulkan perdebatan publik, saat dikatikan dengan salah  kasus Palestina.

Jika Dilihat dari fakta historisnya, baik Uni Emirat Arab maupun Bahrain adalah negara yang ikut memperjuangkan Palestina. 

Sebaliknya, selama beberapa waktu, di panggung PBB kedua negara tersebut turut mengecam aksi Israel terhadap Palestina. Bahkan bagi UEA melalui Menteri Luar Negeri Abdullah Bin Zayed Al Nahyan, pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa perdamaian antara Israel dan Palestina merupakan hal yang sentral dan vital bagi stabilitas regional.

Adapun faktor-faktor yang mendukung perubahan kebijakan bagi Bahrain dan UEA untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel saat ini tidak terlepas dari kepentingan untuk Palestina dan regional teluk. Seperti yang diuangkap kembali oleh Menteri Abdullah Bin Zayed setelah peresmian hubungan dengan Israel, bahwasanya kerjasama tersebut akan menjadi prospek luas untuk mencapai perdamaian yang komprehensif dan memberikan kesempatan bagi Palestina dan Israel untuk kembali bernegosiasi guna mencapai kedamaian (UN General Assembly, Sept 29 2020). 

Akan tetapi respon Palestina melalui prostes besar justru melahirkan stigma pengkhianatan untuk kedua negara tersebut.

Dilihat dari pandangan kerjasama global saat ini, kebijakan yang dikeluarkan sebuah negara sudah pasti mencerminkan kepentingan negaranya. Bila dikaitkan dengan teori konsep 'normalisasi hubungan' sebagai landasan pemikiran, menurut Robert P. Barston dalam Modern Diplomacy, rentang waktu yang dilakukan dalam pemutusan hubungan diplomatik sebuah negara bergantung dengan alasan kembalinya hubungan atau interdependency antara suatu negara dengan negara lainya. Umumnya, hal yang menjadi alasan kembalinya hubungan tersebut adalah faktor ekonomi (Barston, 2014 : 278).

Dalam kasus ini, dapat dikatakan bahwa kepentingan ketiga negara tersebut tidak terlepas dari ekonomi masing-masing. Terutama bagi Israel, dilansir dari Jerusalem Post, Times of Israel,  Kementerian luar negerinya Gabi Ashkenazi menekankan bahwa kesepakatan dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain membuka peluang yang sangat lebar bagi pembangunan, mempromosikan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang berkontribusi terhadap ekonomi Israel.

Normalisasi hubungan dengan Israel pun tampaknya juga menjadi peluang bagi UEA. Kedua negara sudah sepakat bekerja sama di berbagai bidang. dari investasi, perbankan, pariwisata, penerbangan, perdagangan, pertanian, telekomunikasi, teknologi, intelijen dan keamanan.

Dari teori Hans J. Morgenthau menyatakan bahwa kepentingan nasional adalah alat untuk mengejar kekuasaan, disamping kekuasaan tersebut dapat mengontrol negara lain, kekuasaan juga menjadi kemampuan negara untuk melindungi dan mempertahakan identitas fisik, culture dan politik dari gangguan negara lain (Morgenthau, 1978). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline