Untuk kalangan anak muda terlebih lagi mahasiswa hari sabtu seolah surga .Ada yang memilih pulang kampung kerumah orang tua , plesiran kesana-kemari,ada yang memilih menyibukan diri dengan teman-teman organisasi atau ada pula yang lebih memilih santai-santai saja di kos. Hari sabtu itupun penulis juga tak mau ketinggalan. Penulis menerima ajakan kakak sepupunya untuk observasi di salah satu SLB atau Sekolah Luar Biasa yang ada di Kota Klaten. Lumayanlah bisa untuk mengisi waktu luang dan bisa tambah teman juga karena memang kakak sepupu penulis juga tidak sendirian namun mengajak teman-teman satu kelompoknya . Tambah saudara apa salahnya ? Akhirnya jadilah sabtu pagi itu penulis menuju SLB - a atau SLB yang diperuntukan untuk penyandang cacat tuna netra .SLB-a ini memulai jadwal belajar jam 07.00-10.30. Tidak seperti sekolah-sekolah umum lainnya yang satu kelas berisi 20-30 siswa per kelas,SLB ini hanya berisi 4-5 siswa perkelas. Ternyata guru-guru yang mengajarpun kebanyakan juga menyandang tuna netra .Hanya beberapa guru saja yang alhamdulillah tidak kurang suatu apa. Begitu memasuki ruang kelas , sungguh rasanya air mata ini berdesak-desakan ingin keluar .Tapi penulis berusaha sebisa mungkin menahannya karena memang saat itu banyak sekali orang dan tak ingin terlihat cengeng. Penulis yang posisinya hanya sebagai penyusup harus menggunakan jas almamater perguruan tinggi kakak sepupunya tersebut . Jadi tugas penulis saat itu adalah menjadi fotografer dadakan untuk memfoto setiap adegan demi adegan dalam observasi tersebut. Ternyata dalam observasi tersebut sang dosen hanya menugaskan untuk mengobservasi satu anak dan ibunya. Anak penyandang tuna netra tersebut bernama Rani. Gadis berjilbab dengan wajah ceria yang berusia 10 tahun .Energik ,pemberani dan berpotensi itulah kesan tentang gadis tuna netra menurut penulis.
Sebagai ‘penyusup’ tentu saja penulis tidak bertanya ini itu kepada Rani .Penulis cukup mendengarkan saja dialog antara Rani dan kelompok kakak sepupu penulis yang bertugas observasi tersebut. Dari percakapan tersebut , penulis tahu bahwa Rani ternyata mahir menyanyikan tembang-tembang macapat. Bahkan Ranipun juga tidak menolak ketika disuruh untuk nembang. Penulis mendengar sendiri suara Rani yang seperti sinden cilik tersebut. Subhanallah , penulis yang alhamdulillah tidak kurang suatu apa bahkan tidak tertarik untuk belajar tembang-tembang Jawa apalagi berlatih mendalaminya tapi lihatlah gadis tuna netra itu .Sungguuh sebuah ironi bukan ? Ranipun juga sudah mahir membaca dan menulis yang tentu saja dengan menggunakan huruf brail atau huruf untuk penyandang tuna netra. Di kelas itu ada empat orang siswa . Rani , si kembar Vina Vini dan Rio. Vina Vini sama seperti Rani , buta sejak lahir . Sedangkan Rio , dia lebih beruntung dari teman-teman sekelasnya. Dia tidak buta tapi menderita Lowision yaitu penyakit yang mengakibatkan penglihatan hanya sejauh 5 cm. Jadi, Rio tidak bisa melihat apapun yang jaraknya lebih dari 5 cm .
Rio ternyata anak yang pendiam , dia tidak seaktif Rani. Terbukti ketika sedang istirahat dan semua anak sedang makan,penulis sempat mengajaknya ngobrol tapi dia hanya diam sambil tersenyum malu-malu. Dalam observasi tersebut , ternyata tidak hanya Rani saja yang diajak berdialog .Tapi juga orang tua Rani .Ibu rani , yang memang setiap hari menunggui putri tercintanya bersekolah. Dari beliau penulis tahu bahwa kebutaan Rani sudah terdeteksi sejak masih dalam kandungan . Ini diakibatkan oleh virus torch atau semacam virus infeksi yang menyebabkan kebutaan sejak lahir. Maka dari itulah rani lahir dan tumbuh tanpa sepasang bola mata. Tapi meskipun begitu penulis melihat semangat yang menggelora dalam setiap gerak Rani dan juga teman-temannya yaitu Rio dan si kembar Vina Vini. Sungguh mereka adalah orang yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H