Lihat ke Halaman Asli

Shinta Adelia

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Transfomasi Toleransi Beragama di Tanjung Balai: Konflik dan Dampaknya terhadap Hubungan Antar Agama

Diperbarui: 8 Juli 2023   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini, terjadi banyak konflik yang berbau SARA di beberapa daerah di Indonesia. Biasanya, konflik semacam ini dipicu oleh tindakan intoleransi dari individu atau kelompok tertentu, yang kemudian melibatkan kelompok yang lebih besar dengan memanfaatkan perbedaan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya. Tidak adanya toleransi terhadap perbedaan yang ada menyebabkan konflik tersebut bermulai, membangkitkan konflik dengan orang lain yang berbeda dengannya, dan bahkan berujung pada tindakan kekerasan yang memicu eskalasi konflik yang lebih luas. Berbagai macam keberagaman yang ada di Indonesia menunjukkan dengan sangat jelas pula berbagai macam karakteristik yang ada pada masyarakat. Sepert di Kota Tanjungbalai, keberagaman juga sangat terlihat. Kota ini memiliki keberagaman etnik, budaya, agama, dan lain-lain. Seperti halnya Indonesia secara umum, Kota Tanjungbalai juga mencerminkan keberagaman yang beragam dalam masyarakatnya dengan karakteristik yang berbeda-beda.

Keberagaman tersebut meliputi etnis, budaya, agama, dan aspek lainnya. Namun, dengan adanya beragam karakteristik tersebut, tidak dapat dihindari bahwa terdapat perbedaan kepentingan di antara masyarakat. Hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial yang beragam, kesenjangan sosial ini seringkali berujung pada kerusuhan di masyarakat. Selain itu, dalam kerusuhan tersebut, sarana dan prasarana di sekitarnya juga menjadi sasaran pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Kerusuhan semacam ini dipicu oleh perbedaan kepercayaan, budaya, dan ideologi yang dianut oleh masyarakat yang terlibat. Perbedaan-perbedaan ini, meskipun merupakan bagian dari kekayaan keberagaman, juga menjadi tantangan bagi masyarakat untuk membangun harmoni dan kerukunan. Penanganan kesenjangan sosial serta pencegahan kerusuhan dan pengrusakan sarana menjadi upaya penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan damai di Kota Tanjungbalai.

Sentimen budaya (kultural) memainkan peran utama dalam konflik yang terjadi di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Konflik tersebut dipicu oleh pembangunan dan pemasangan Patung Budha Amithaba di Vihara Tri Ratna, yang dianggap mengganggu kenyamanan ibadah bagi warga Muslim di Tanjung Balai. Konflik ini kemudian memuncak pada pembakaran Vihara pada tanggal 29 Juli 2016, yang melibatkan sentimen budaya. Kronologi dari konflik di Tanjung Balai sendiri, bermula dari tersangka Meliana (44 Tahun), pernyatannya terkait dengan kerasnya volume adzan di Masjid Al-Maksum yang berujung pada kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai pada 2016 lalu. 

Kemudian, tidak dapat terlepas dari adanya kesalahpahaman dalam komunikasi. Tujuan komunikasi dalam percakapan tersebut tidak tercapai sebab yang mendengar kalimat tersebut tidak mendapat pesan yang sama seperti apa yang ingin Meliana sampaikan. Ada banyak faktor yang menyebabkan pesan tidak tersampaikan dengan baik, diantaranya adalah perbedaan harapan yang dapat menimbulkan kekecewaan dan sudut pandang yang berbeda terhadap tataran isi dan tataran hubungan. 

Dampak dari konflik antar agama ini sangat merugikan hubungan harmonis antar umat beragama. Ketegangan dan saling curiga dapat menghancurkan kerukunan yang telah terbangun dalam masyarakat. Rasa saling takut, ketidakpercayaan, dan pemisahan diri antar kelompok agama juga dapat terjadi. Selain itu, konflik juga dapat membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di Tanjung Balai. 

Konflik yang terjadi dapat menciptakan ketidakstabilan, memunculkan kekhawatiran investor, dan menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Selain itu, konflik juga dapat menghancurkan fasilitas umum dan infrastruktur, yang berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Penelitian telah mengungkap bahwa konflik yang terjadi di Tanjung Balai dapat dikategorikan sebagai konflik identitas. Hal ini sesuai dengan konsep yang dinyatakan oleh Max Weber bahwa konflik tidak hanya berkaitan dengan ekonomi atau kepemilikan alat produksi, tetapi juga dapat timbul dari aspek-aspek seperti konsumsi, gaya hidup, status, simbol, ideologi, dan keagamaan (religiusitas). 

Menurut buku "Masalah Sosial dan Pembangunan" yang ditulis oleh Drs. Soetomo pada tahun 1995, salah satu cara untuk memahami masalah sosial adalah melalui perspektif konflik nilai. Artinya, masalah sosial dapat timbul ketika dua kelompok atau lebih dengan nilai-nilai yang berbeda saling bertemu dan bersaing. 

Ketika terdapat perbedaan nilai atau kepentingan di dalam suatu masyarakat, konflik atau polarisasi bisa terjadi antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, yang pada akhirnya memicu konflik. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Tanjung Balai dapat dijelaskan sebagai hasil dari perbedaan identitas, nilai-nilai, dan kepentingan yang ada dalam masyarakat tersebut.

Jika menyoroti aksi kekerasan yang muncul dalam permasalahan konflik antar agama di Tanjung Balai tidak lagi hanya melibatkan individu, namun sudah melibatkan banyak orang yaitu masyarakat islam yang ada disekitarnya. Perilaku kekerasan yang terjadi di Tanjung Balai adalah tindakan kolektif yang dilakukan secara bersama-sama dengan menyerang beberapa tempat ibadah umat Buddha, seperti Vihara dan Klenteng. Kejadian ini mengindikasikan kurangnya toleransi antar umat beragama di Indonesia. Sebenarnya, ajaran agama seharusnya mendorong para penganutnya untuk memiliki akhlaqul karimah (ahlak mulia), mempromosikan kerukunan, cinta kasih, serta mendorong kebajikan dan mencegah perbuatan jahat. Sayangnya, seringkali ajaran agama disalahgunakan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk mencegah terulangnya konflik seperti itu, Lewis Alfred Coser dalam analisisnya tentang konflik dan solusi pemolisian dalam konflik antar agama di Tanjung Balai Sumatera Utara tahun 2016, memberikan solusi dengan menggunakan "safety valve" atau "katup penyelamat". Ini merupakan suatu mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk menjaga kelompok dari potensi konflik sosial. "Katup penyelamat" memungkinkan ungkapan permusuhan ditampung tanpa menghancurkan seluruh struktur atau dengan kata lain, melalui mediator. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline