Lihat ke Halaman Asli

Shinta Harini

From outside looking in

Warteg Teman Kiriman Tuhan

Diperbarui: 13 Agustus 2021   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kue kering produksi teman di tulisan ini (Dok pribadi)

Belum lama ada teman melemparkan pertanyaan di satu grup di aplikasi telepon genggam: jika kita pesan makanan online sekitar Rp 150.000 tiap hari, berapa kira-kira uang yang harus disediakan dalam satu bulan? Dalam hati saya pikir kenapa dia tidak ambil saja kalkulator dan menghitung sendiri totalnya, yang sekitar 4,5 juta kalau sebulan ada 30 hari. Suatu jumlah yang fantastis untuk biaya makan saja.

Karuan saja tanggapan yang ibu itu terima juga macam-macam, dengan mayoritas menyayangkan mengapa ia tidak masak sendiri sehingga biaya bisa ditekan. Kilahnya pada saat itu adalah bahwa anak-anaknya yang masih kecil-kecil lebih suka jajanan yang banyak dijual online. Bisa ditebak yang selanjutnya ia terima adalah nasehat untuk tidak sering-sering memberi anak-anaknya junk food.

Saya tidak mau menulis tentang bagaimana si ibu seperti menggali kubur sendiri dengan pernyataan-pernyataannya yang mungkin terkesan polos menjurus ke bodoh. Saat itu setelah saya pun memberikan pendapat saya kepada beliau, seseorang bertanya kepada saya apakah saya memasak sendiri makanan di rumah. Jawab saya, "Tentu. Dapur saya ada di seberang rumah."

Yang ada di seberang rumah saya itu ibarat ITC kecil-kecilan. Ada kios-kios kecil dengan beragam bentuk usaha. Mulai dari isi ulang air mineral (dan dulu pernah ada laundry), warung kelontong dengan isi segala macam, sampai pusat pernak-pernik gadget yang juga jualan pulsa. Tempat makan tentu beragam: tenda dengan mie ayam-nya, penjual ayam goreng model kaepsih, dan tukang sate dari Madura. Sedang teman saya, panggil saja Dania, mempunyai usaha warteg alias warung Tegal di sana dengan rasa Sunda campuran Jawa.

Kalau tidak salah ingat, warteg ini mulai beroperasi mendekati akhir tahun lalu. Lokasi dibukanya warteg ini memang sudah beberapa kali jadi tempat usaha, tapi sepertinya selama ini hoki-nya tidak terlalu baik. Sampai suatu saat kios itu dipugar lagi. Kami bertanya-tanya warung apa lagi kali ini. Ketika dibuka, warteg ini sedikit memberi rasa surprise bagi kami. Memang di kompleks sudah banyak yang berjualan makanan, tetapi tidak pernah yang berbentuk warteg. Setelah beberapa hari buka, saya memutuskan untuk berkunjung dan saya dapat surprise yang kedua. Ternyata pemiliknya teman saya waktu di SD, Dania! Teman sekaligus saingan dalam memperebutkan ranking satu di kelas.

Dania ini tadinya juga bekerja tapi kemudian memutuskan untuk memulai usaha sendiri. Saya kagum kalau melihat status-statusnya di sosmed bagaimana ia memulai UMKM-nya, mengambil kursus-kursus, mengikuti pameran dan bazaar untuk menjual hasil usahanya. Ia bekerja sama dengan seorang teman memulai usaha warteg di dua tempat, serta menerima pesanan seperti puding, kue kering, cake, ayam penyet, nasi boks, dan lain-lain. Penjualan dilakukan di warteg maupun rumah dengan bantuan sosial media untuk promosinya.

Buat saya yang cuma jadi pengamat, semua itu jelas hal-hal yang luar biasa untuk dilakukan. Dania jelas bekerja keras untuk itu. Bayangkan saja, untuk warteg saja ia harus mulai sekitar pukul 6 pagi dan tiap kali saya lihat ia membuka warungnya berarti ia sudah kembali dari pasar membeli bahan-bahan mentah untuk diolah.

Yang jelas keberadaan warteg-nya sangat membantu saya yang memang tidak biasa memasak. Bukannya apa-apa. Kalau sedang niat masak, saya akan menghabiskan banyak waktu sedangkan hasilnya paling hanya satu atau dua jenis masakan. Padahal dengan jumlah rupiah yang sama saya bisa mendapatkan bermacam-macam jenis masakan walau dengan kuantitas lebih sedikit tentu saja, tapi itu tidak masalah karena saya bisa datang keesokan hari untuk jenis masakan yang lain.

Warteg Dania ini ibaratnya kiriman Tuhan di masa pandemi ini. Kalau warung ini tidak ada, nasib saya akan seperti cerita teman di awal tulisan ini yang harus beli makanan online setiap hari. Entah bagaimana saya akan bertahan hidup dengan cara seperti itu. Rasanya saya juga tidak akan beralih untuk memasak sendiri karena saya tidak berani pergi ke pasar untuk berbelanja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline