Sejak tahun 2011 Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Pemenuhan Hak Orang-orang dengan Disabilitas (UNCRPD), bahkan Indonesia telah menerbitkan UU nomor 19 tahun 2011 yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas. Dalam satu klausulnya, Konvensi ini menyebutkan prinsip kesetaraan yang menjamin bahwa setiap penyandang disabilitas harus mempunyai kesempatan dan akses yang setara.
Tidak hanya berhenti di situ, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan telah menerbitkan Peraturan Daerah No 4 tahun 2012 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Dasar Penyandang Disabilitas yang mewajibkan Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan masyarakat untuk mewujudkan dan memfasilitasi terwujudnya aksesibilitas penggunaan fasilitas umum bagi penyadang disabilitas sesuai dengan kewenangannya. Bahkan, Pasal 90 dari Peraturan Daerah itu menegaskan bahwa upaya perwujudan aksesibilitas penggunaan fasilitas umum harus memenuhi prinsip kemudahan, keamanan/keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan kemandirian dalam hal menuju, mencapai, memasuki dan memanfaatkan fasilitas umum.
Tapi pengetahuan akan adanya legislasi tersebut, justeru membuat saya geram siang ini. Tertatih-tatih, saya harus mengatur jejak langkah di sela-sela konblok yang sudah tidak utuh lagi. Di sana sini bongkah konblok pecah mencuat. Sangat mungkin saya tersandung jika tak hati-hati. Sebentar-sebentar saya harus turun naik dari trotoar sempit itu karena banyak pathok warung pedagang kaki lima di tepi jalan utama yang menghalangi ayunan langkah saya. Sungguh menyulitkan saya yang memiliki hambatan berjalan.
Belum lagi di tempat-tempat tertentu trotoar itu diisi oleh kendaraan yang parkir tak beraturan. Sesampainya di gedung perkantoran yang terletak di tepi jalan utama di Kota Yogyakarta itu, saya perlu berhenti sejenak. Perlu waktu beberapa lama untuk saya mencari-cari cari pegangan di tangga yang curam. Akhirnya saya memberanikan diri melangkah pelan-pelan untuk memastikan agar tidak terpeleset karena tangga itu tidak dilengkapi pegangan tangan.
Sekelumit pengalaman di suatu siang itu bukanlah peristiwa tungggal. Hampir setiap hari saya menyaksikan kesulitan lansia, orang dengan alat bantu jalan, orang dengan kesulitan mobiltas dan anak-anak dalam menggunakan fasilitas publik khususnya jalan raya. Tidak hanya menimbulkan potensi celaka, fasilitas umum yang tidak aksesibel ini mengurangi peluang warganya, khususnya mereka yang rentan, untuk dapat mobile, seperti menjangkau layanan kesehatan, layanan pendidikan, tempat pekerjaan dengan mandiri. Dengan kata lain infrastruktur umum yang tidak aksesibel adalah pelanggaran hak asasi manusia!
Suatu yang terasa ironis jika diperhadapkan dengan komitmen-komitmen yang telah dilegalkan di level lokal bahkan global di atas. Apalagi saat ini ketika dunia memasuki era pembangunan dengan kerangka global berkelanjutan yang disingkat SDGs (sustainable development goals) yang diklaim sebaga kerangka pembangunan global pertama yang sangat inklusif. Salah satu dari 17 goals dalam SDGs bahkan menyeru pada pembangunan kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Kotaku ini jadi terasa jauh dari gambaran pembangunan ideal yang berkelanjutan. Saya tidak mau harapan pembangunan itu hanya mimpi di siang bolong.
Tulisan ini adalah catatan kecil untuk mengingatkan semua pihak untuk segera memperbaiki infrastruktur layanan umum dan tata kota agar penyandang disabilitas, para lansia, perempuan hamil, anak-anak bahkan setiap warga masyarakat, mendapatkan pemenuhan hak dasarnya sehingga slogan ‘Yogya Aksesibel untuk Semua’ adalah sebuah afirmasi, bukan kalimat yang diakhiri tanda tanya. (Arshinta 12/02/2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H