Lihat ke Halaman Asli

Mencecap Indonesia di Marga Mulia

Diperbarui: 5 Agustus 2015   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibadah 2 Agustus 2015 di GPIB Marga Mulya dimeriahkan paduan suara lansia, pemuda dan anak dari berbagai suku dan berbagai busana bahan lokal"][/caption] 

Pagiku itu dipenuhi warna, rasa dan gaya. Bangunan kuno dari Zaman Belanda di ujung Jl Malioboro itu dihiasi Sarung Makasar kotak-kotak besar bernuansa biru dengan padu padan blouse putih bergaya Maluku, yang duduk bersanding dengan batik motif floral kontemporer berwarna oranye. Busana seragam itu dikenakan dua kelompok paduan suara berbeda usia, para lanjut usia, kaum muda dan anak-anak (yang bahkan tak mengenakan seragam sehingga lebih “obar abir” rasanya). Belum lagi kulit hitam dan kulit kuning bersanding diselipi si putih pucat satu dua di antara para sawo matang; rambut keriting dan rambut lurus dengan berbagai gaya sisir juga terlihat. Sungguh rentang yang raya, membuat gedung kuno abu-abu pucat itu tak membosankan, sebaliknya berdenyut riang.

Ya, pagi ini saya mengikuti ibadah Minggu di Gereja Protestan Maluku (GPM) Marga Mulya di Yogyakarta. GPIB adalah gereja dengan visi mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya. Saat saya mengikuti ibadah Minggu itu, mereka sedang merayakan ulang tahun ke-65 Gerakan Pemuda GPM yang dalam sejarah bangsa ini sudah terbukti aktif dalam gerakan meraih kemerdekaan Indonesia kala itu.

Dari atas mimbar bapak pendeta mengambil kisah Saul dan Daud yang membuahkan prinsip-prinsip suksesi kepemimpinan ke generasi muda. Untuk menjadi pemimpin yang amanah, seseorang perlu selalu mendengarkan bimbingan Ilahi dan setiap pemimpin yang sudah mengiyakan panggilan memimpin, dia harus meletakkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri dan keluarganya. Ibadah itu ditutup dengan pujian dari kaum muda GPM dengan lagu Satukan Kami Tuhan yang liriknya berbunyi demikian :

Puji dan syukur bagi Tuhan, Engkau satukan kami di sini.

Sio basudara e (2x).Mari katong bakumpul disini, Jang ale dong bimbang, jang ale dong ragu deng hidup ini. Jang tunggu lama lai (2x). Mari katong baku pegang tangan. Tuhan su rindu. Katorang bersatu. Banyak basudura disana dong tunggu. Dong tunggu katong samua jadi satu. Biar busu busu. Biar kurang kurang. Katong tetap sudara e.

Refrein: Biar Katorang laeng kampong; Katorang tapisah pulau. Tuhan sayang e. Biar katorang laeng bahasa; Katorang laeng agama. Katong satu e. La biar ale warna putih. Beta warna hitam. Samua sama e. Puji dan syukur bagi Tuhan. Engkau satukan kami disini.

Masyarakat Ambon khususnya dan Indonesia pada umumnya masih mempunyai ingatan yang segar tentang dalamnya luka akibat konflik Ambon yang berkepanjangan diawali tahun 1999.  Jadi aku yakin bahwa lagu di atas lahir dari jiwa yang tidak ingin lagi mengorek luka lama, dan sebaliknya berteriak menyeru agar kita kembali mengarahkan mata hati ke mimpi besar bangsa ini seperti yang dimeteraikan oleh para pendiri bangsa. Jadi kejadian pembakaran mushola, gereja, dan berbagai konflik berbasis suku, agama dan golongan seharusnya bukan lagi bagian dari perjalanan masa depan bangsa iyang sangat elok tingkat toleransinya ini.    

Pagi itu aku datang ke Marga Mulia, tapi aku tidak hanya berjumpa dengan orang Kristen suku Ambon kulit hitam manise. Aku melihat sejarah bangsa yang raya, yang bangga pada perbedaannya dan yakin untuk maju bersama. Ya satukan kami Tuhan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline