Cintaku Tidak Elementary Lagi
Satu persatu Ibu Retno wali guru kelas VI memanggil nama-nama beberapa murid ke panggung untuk menerima berbagai penghargaan yang disiapkan sekolah di sore itu. Sepuluh besar nilai UAN (ujian akhir nasional) terbaik, sepuluh besar nilai ijazah tertinggi, anak-anak yang berhasil meraih nilai 10 di mata pelajaran pokok yang diuji secara nasional (matematika, IPA dan Bahasa Indonesia) dan anak-anak yang berhasil menunjukkan kerja keras untuk mendongkrak nilai mereka dari yang sangat rendah sebelum try out dan melompat meraih nilai excellent saat ujian sesungguhnya. Anak-anak yang maju didampingi orang tuanya. Ya, itu adalah acara pelepasan dan ‘wisuda’ murid-murid di sekolah anak-anakku menempuh pendidikan dasar (elementary school)
Terus terang, aku ingin merasakan maju ke atas panggung seperti beberapa orang tua itu. Puluhan tahun yang lalu, ayahku almarhum sering menuliskan di suratnya pada aku dan adik- adik saat dia bertugas di luar pulau, betapa dia bangga saat dipanggil maju di sekolah anak-anak, karena kami bergantian menjadi juara walau bukan juara 1, dan karena kami anak-anaknya bersekolah di sekolah-sekolah negeri favorit di Yogyakarta dari SMP sampai kuliah. “Kapan ya, pak kita dipanggil maju ke depan seperti kakung yang bangga itu, “ tanyaku pura-pura serius pada suami di saat santai, sambil melirik menggoda ke anak-anak yang asyik melihat TV. “Lho bu, kita lebih senang lo, kita dipanggil tiap semester oleh guru anak-anak” canda suamiku sambil tetap melirik untuk menggoda anak-anak yang pura-pura tidak mendengar sindiran kami dan menyimpan senyum geli menahan tawa di sudut bibir mereka. Ya, memang pengalaman kami sebagai orang tua memang berbalik 180 derajat dari pengalaman orang tuaku. Beberapa kali kami sebagai orang tua diundang menghadap guru anak-anak karena nilai ujian mereka yang “kritis” alias mepet di bawah.
Saat sesi ramah tamah, untuk buka puasa dan menikmati suguhan lagu dan tari yang dibawakan oleh murid-murid sekolah dasar itu (termasuk anak kembarku Bening dan Cinta yang menyanyi paduan suara), aku tiba-tiba teringat pembicaraanku dan Cinta di pagi hari tadi saat kami berjalan kaki sepulang dari gereja. “Bu, tahu kan perempuan muda yang tubuhnya kecil di ujung gang sana, isteri Pak Yanto yang jual sayur itu,” ujar Cinta anakku sambil menunjuk warung sayur di ujung gang tempat kami melangkah. “Memangnya kenapa sayang?” tanyaku balik. “ Beberapa minggu lalu aku melihat dia memboncengkan anaknya yang masih kecil, Bu. Setelah kuamati dia itu hanya berkendara dari warungnya itu ke sini, dan membuang sampah tepat di bawah papan bertuliskan Dilarang Membuang Sampah ini” ujar Cinta sambil menunjuk gundukan di sejumput tanah kosong di tepi jalan kecil yang sedang kami lewati. Jaraknya mungkin tidak lebih dari 100 langkah kaki dari warung mereka. Cinta yang memang analitis itu melanjutkan, “Isteri Pak Yanto itu melakukan 3 hal yang salah dengan hal yang nampaknya kecil itu, Bu,” ujar Cinta. “Lho 3 hal? Apa saja Cint?” tanyaku penasaran. “Pertama, dia mengendarai motor untuk tempat yang sangat dekat jaraknya dengan rumah. Daripada membuang bensin, sebenarnya dia dapat jalan tidak lebih dari 5 menit saja dan lebih sehat. Kedua, dia membuang sampah tepat di depan papan bertuliskan ‘jangan membuang sampah di tempat ini’ . Kita tahu dia bukan orang yang tidak dapat membaca dan menulis to Bu? Ketiga, dan ini yang sangat fatal menurutku adalah dia melakukan itu di depan anaknya yang masih kecil dan yang akan belajar hal yang salah dari orang tuanya,” tukas Cinta dengan tersenyum. Aku tiba-tiba tercekat oleh rasa haru yang berdesakan dengan bangga memenuhi dadaku. “Engkau anakku, anakku Cinta,” aku berseru kecil dengan mencium dan merangkulnya. Ibu jadi harus lebih berhati-hati karena semua yang ibu dan bapak ucapkan dan lakukan akan kamu amati dan analisa ya nduk? Rasanya baru kemarin kamu kutimang-timang sebagai bayi……eh itu akan menjadi 4 kesalahan lho Cint!” ujarku beruntun. …”Apa itu buk?” selidik Cinta. “Kalau kamu, selain menganalisa kesalahan isteri Mas Yanto, melakukan hal yg sama dengan dia, ya buang sampah sembarangan, ya tidak menghemat energy , ya tidak mindful/penuh pertimbangan dalam bertindak tanpa mengingat dampaknya untuk orang lain . Itu sunggguh malapetaka bagiku Cin, “ ujarku sambil menggoda dan merangkulnya. Cinta tersenyum, tiba-tiba kusadari dia sudah setinggi aku karena tanganku merengkuh sejajar bahu.
Rasanya percakapan pagi tadi cukup membuat aku merasa menerima piala indah di panggung hidup karena mempunyai anak-anak yang istimewa. Walaupun secara akademis mereka biasa-biasa saja, tapi bagiku mereka luar biasa. Sebagai orang tua, aku merasa belum cukup puas menimang dan mencium anak-anakku layaknya bayi merah, tiba-tiba mereka sudah setinggi aku dan yang terutama, telah memiliki pendapat, sikap dan nilai yang kritis dan “tepat” dengan kondisi jaman dan lingkungannya di usia yang relatif muda. Cinta bukan lagi anak sekolah dasar, dia akan segera menapak pendidikan menengah. Semoga nilai-nilai hidup yang dia lihat dari sekitarnya, akan dapat dia cerna dengan baik dan menemaninya bertumbuh , menghadapi hidup yang tidak selalu mudah, tapi kuharap selalu penuh amanah dan berkah untuknya. Ibu bangga padamu nak!
(Yogya 28/06/2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H