Siapa sih yang tidak tahu tentang pernikahan dini? Pasti diantara kalian tahu, dong! Pernikahan yang dilakukan ketika salah satu mempelai ataupun kedua mempelainya masih berada dibawah umur.
Alasan untuk melakukan pernikahan dini pun beragam, mulai dari untuk menghindari zina, mengikuti tradisi, married by accident (MBA), pendidikan yang kurang, bahkan alasan ekonomi pun bisa menjadi faktor terjadinya pernikahan dini. Padahal, jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah berumur 19 tahun. Namun mirisnya, di Indonesia masih banyak terjadi pernikahan dini.
Dilansir dari Hellosehat.com kehamilan di usia muda sangat berisiko, diantaranya rentan terhadap tekanan darah tinggi, gangguan anemia, bayi lahir prematur, serta ibu meninggal saat melahirkan. Hal ini dikarenakan secara biologis alat reproduksi pada remaja perempuan masih dalam proses pertumbuhan, sehingga belum cukup siap untuk melakukan hubungan seksual apalagi sampai terjadi kehamilan, kemudian melahirkan.
Perempuan yang menikah pada usia dini seringkali rentan terhadap komplikasi kesehatan yang serius, seperti persalinan prematur dan anemia kekurangan zat besi. Lalu jika dilihat melalui sisi psikologis, remaja masih memiliki emosi yang belum stabil sehingga rentan terhadap depresi, hal tersebut bisa membuat remaja kehilangan jati dirinya.
Selain itu, pernikahan dini juga menyebabkan perempuan rentan jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Pernikahan dini dapat memicu kekerasan fisik, seksual, dan emosional oleh pasangan mereka yang lebih tua dan lebih berkuasa.
Bahkan organisasi dunia seperti UNICEF, Human Rights Watch, dan Save the Children juga menekankan pentingnya mengakhiri praktik pernikahan dini untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi hak anak-anak, terutama anak perempuan. Hal ini karena, ketika seorang remaja yang waktunya biasa dihabiskan untuk mengeksplor diri, justru terjebak dalam sebuah pernikahan yang mengharuskan mereka menjadi orang tua disaat emosi dan kondisinya belum siap dan belum stabil, tentunya akan berdampak kepada pertumbuhan anak mereka nantinya. Emosi yang tidak stabil dari orang tua muda ini, dikhawatirkan akan membawa dampak negatif pada anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang memiliki perilaku disruptive, yang mana anak akan tumbuh dengan menjadi pribadi yang emosinya meledak-ledak, haus akan perhatian, tidak patuh, dan agresifitas yang tentunya bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Kita harus selalu ingat, kalau sebenarnya perilaku yang dimunculkan oleh seorang anak, merupakan bentuk dari apa yang telah ia dapatkan dan pelajari melalui pola asuh orang tuanya, lho!!
Tak mengherankan jika saat ini remaja di Indonesia banyak sekali yang mengalami masalah kesehatan mental dikarenakan faktor psikologis, yang sebagian besar disebabkan oleh lingkungan yang ada di keluarga, entah itu kekerasan dalam keluarga, orang tua yang tidak akur, kurang baiknya hubungan antara orang tua dan anak, perceraian, bahkan gangguan kesehatan mental yang dimiliki oleh orang tua pun dapat mempengaruhi kondisi mental seorang anak.
Untuk itu, pendidikan dan kampanye sosialisasi tentang bahaya pernikahan dini dan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi harus ditingkatkan. Orang tua yang menikah dini juga perlu mendapatkan dukungan dan akses pada layanan kesehatan mental yang memadai, serta pemerintah harus memperhatikan dan memberikan perlindungan pada anak-anak yang terkena dampak pernikahan dini ke dalam kebijakan dan program-program yang diselenggarakan.
Ini bukan berarti bahwa setiap orang yang melakukan pernikahan dini akan selalu gagal dalam membangun keluarga dan menjadi orang tua. Tapi dengan adanya tulisan ini, diharapkan bisa menjadi refleksi bagi orang tua yang melakukan pernikahan dini agar bisa menerapkan ilmu parenting yang baik kepada anaknya, apalagi di jaman modern yang serba digital ini, ilmu bisa didapatkan darimana saja. Jangan sampai anak menjadi korban di kemudian hari, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H