Lihat ke Halaman Asli

Cahaya

Dualisme Gelombang-Partikel

Cerpen | Mencandai Kematian

Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merasa akan mati sebentar lagi. Mungkin sore ini atau paling lambat sebelum tengah malam nanti. Lalu, orang-orang bakal sangat terkejut dengan betapa cepatnya aku pergi. Satu per satu dari mereka akan mengomentari soal kematianku yang mendadak.

Misalnya: Padahal dia masih muda, cantik, dan cerdas pula.

Atau: Kok bisa? kemarin masih ketemu di pasar, dan anak itu kelihatan sehat sekali.

Kemudian: Kasihan ya, belum menikah sudah mati duluan.

Juga, yang paling pahit dari semua komentar: Perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya mati muda. Rugi sekali.Dan lain-lain dan seterusnya.

Ibuku yang lima jam lalu memarahiku karena enggan keluar kamar juga mungkin akan menyesal. Andai tahu aku akan mati secepat itu, tentu ibu akan lebih menyayangiku, dan memahamiku. Setidaknya mendekatiku dari hati ke hati, menanyakan baik-baik alasan aku lebih sering di kamar.

Atau barangkali, ibu akan senang, sebab tidak ada lagi anak perempuan yang sering menyulutkan emosinya. Beliau tidak perlu menghabiskan energi untuk memarahiku, mengarahkan itu dan anu, mengeluhkan sikapku yang meski sudah seperempat abad, tapi kelakuanku masih saja lebih bocah dari anak berumur lima tahun.

Lalu akun sosial mediaku juga akan penuh dengan ucapan bela sungkawa panjang-panjang, entah tulus atau cuma ikut ramai, biar ada yang mengomentari kirimannya, minimal memberi respons suka.

Satu demi satu orang akan menyebutku di status media sosialnya. Mendoakan agar amal ibadahku diterima, dan keluarga yang kutinggalkan bisa tabah dan ikhlas melepasku.

Selanjutnya akan ada teman yang hanya mengenalku sepintas, tidak akrab sekali, hanya teman sekolah yang pernah beda kelas, dan beberapa kali berpapasan ketika hendak ke kantin atau koperasi, tanpa saling sapa, meski hanya sebatas senyum, berlagak terkejut dan menanyakan penyebab kematianku, hanya karena orang yang mengirim ucapan belasungkawa adalah lelaki yang dia sukai diam-diam. Padahal wajahku seperti apa juga dia tidak bisa ingat dengan jelas dan harus lebih dulu memastikan dengan cara membuka album foto yang kuunggah di sosial media.

Tidak masalah, setidaknya kematianku cukup berguna bagi orang lain. Barangkali setelah mati pun aku masih tetap ditakdirkan untuk menjadi makcomblang bagi orang di sekitarku. Seperti ketika aku hidup dulu, sudah tiga pasangan berujung di pelaminan melalui perantaraku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline