Lihat ke Halaman Asli

Cahaya

Dualisme Gelombang-Partikel

Mengenali, Menemukan dan Mengasah

Diperbarui: 31 Juli 2017   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang anak laki-laki tiba-tiba berlari ke pelukan ibunya. Air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk. Kepada sang ibu dia bercerita kalau baru saja dikatai idiot oleh gurunya. Semua bermula dari prilaku anak itu di kelas yang jarang sekali mau memperhatikan guru ketika menerangkan mata pelajaran, dia malah lebih sering melamun lantas bertanya di luar konteks. Sang ibu yang juga adalah seorang guru, setelah mendengar cerita tersebut, akhirnya memutuskan akan mendidik putranya seorang diri. Anak itu di kemudian hari akan dikenal oleh seluruh dunia sebagai penemu lampu pijar: Thomas Alfa Eddison.

Cerita di atas memberi pelajaran bagi kita bahwa anak yang kita lihat tidak terlalu menonjol, belum tentu di kemudian hari akan minim prestasi. Itu hanya satu dari beberapa kisah inspiratif dari ilmuwan, maupun orang-orang terkemuka dunia yang semasa kecilnya disangka bodoh. Meski belakangan ada yang mengatakan bahwa kisah tersebut adalah sebuah kebohongan, tapi tak ada salahnya ikut mengambil pelajaran darinya.

Boleh jadi, anak-anak seperti itu ternyata banyak di luar sana, di daerah tertinggal negeri ini. Mereka terlihat terbelakang, serba terbatas, minim prestasi bahkan hampir tidak ada satu pun yang dapat diharapkan dari mereka. Padahal, bisa sekali mereka adalah anak-anak di pulau terluar dengan potensi yang menakjubkan. Ibarat bongkahan yang kita sangka hanya sebuah batu penuh lumpur, ternyata itu adalah sebuah berlian yang belum diasah.

Seperti yang pernah saya alami saat mengikuti SM-3T. Program di mana pemerintah mengirimkan sarjana terbaik dari universitas terakreditasi, untuk mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik ke daerah terdepan, terluar dan tertinggal negeri ini selama setahun. Program yang di kemudian hari mengantarkan saya pada begitu banyak pengalaman mengagumkan. Salah satunya bertemu dengan Rosita.

Iriyanti Rosita Yedafat, seorang putri daerah yang jika melihat fisiknya, orang-orang mungkin akan berpikir anak itu terlahir dengan malang. Bagaimana tidak, Rosita memiliki mata kiri yang tidak sempurna. Tapi, mata yang tidak sempurna itu justru memancarkan harapan yang tanpa batas dari seorang anak asli keturunan Papua. Dan saya bersyukur karena Tuhan telah memperlihatkan pancaran tersebut lantas membuat saya tergerak untuk bertanggung jawab atas pendidikan yang layak bagi anak itu---tentu saja anak-anak lain juga.

Saya sebenarya tidak ingin bermuluk-muluk mengurai cerita tentang Rosita, hanya saja penting rasanya membagikan kisah ini. Juga, tidak perlu pula mengisahkan bagaimana membuat seorang Rosita yang awalnya pemalu menjadi lebih percaya diri---saya rasa jika kita memiliki jiwa pendidik, secara otomatis kita akan memikirkan strategi terbaik dalam membantu mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik.

Saya akan memulai cerita ini pada hari di mana kami para guru merapatkan siapa-siapa saja perwakilan sekolah yang dirasa pantas mengikuti seleksi OSN tingkat kabupaten (waktu itu sekolah tidak sempat mengadakan seleksi tingkat sekolah dikarenakan waktu yang mepet). Saat kepala sekolah menanyakan siapa peserta OSN untuk mata pelajaran IPA yang cocok menjadi perwakilan, satu dari tiga nama yang saya ajukan adalah Rosita. Anak itu punya potensi. Sayang sekali, beberapa guru tidak setuju, kepala sekolah pun tampak ragu-ragu.

Selama ini anak asli Papua dianggap tidak memiliki kemampuan. Istilah yang sering didengungkan adalah rambut-talingkar-otak-talingkar atau jika dimaknai dalam bahasa indonesia berarti: bukan hanya rambut yang keriting otak pun juga keriting. Ditambah kekurangan fisik yang semakin menumpuk keraguan di benak para guru.

Saya diam, ada perasaan geram yang tertahan di benak saya. Malam harinya saya mencurahkan perasaan itu kepada salah seorang teman guru yang kebetulan bertetangga. Ternyata dia sebenarnya mendukung pilihan saya, terlebih setelah mendengar pengakuan langsung Rosita tentang keinginannya mengikuti seleksi sebagai perwakilan sekolah pada mata pelajaraan IPA, bukan IPS---yang waktu itu dipilihkan untuknya. Maka saya pun berpesan---jika tidak dapat dikatakan memohon dengan sangat, bahwa anak itu harus diikutkan di seleksi OSN tingkat kabupaten pada tahun berikutnya.

Singkat cerita, setahun berlalu. Saat saya tengah mengikuti program PPG (Pendidikan Profesi Guru) pasca SM-3T sebagai proses mematangkan dan memantas diri untuk menjadi pendidik profesional, seorang teman dari dinas yang masih berhubungan lewat udara memberi kabar gembira, bahwa salah satu siswa saya lolos seleksi OSN tingkat kabupaten. Ketika menanyakan namanya, dia mengaku lupa, tapi mengingat dengan baik ciri-cirinya: anak asli Papua yang mata kirinya tidak begitu sempurna.

Itu hanya sekilas cerita tentang 'berlian' yang boleh jadi disangka hanya sebuah bongkahan batu biasa. Hanya sebuah kisah dari seorang Rosita. Barangkali ada banyak sekali Rosita-Rosita di luar sana yang butuh kita 'temukan' lantas kita 'asah' hingga berkilau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline