Lihat ke Halaman Asli

Cahaya

Dualisme Gelombang-Partikel

Kenangan dari Langit

Diperbarui: 13 Februari 2017   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul satu malam. Pemberitahuan obrolan berbunyi. Aku yang baru beberapa detik lalu menarik selimut, kini  melepasnya. Penasaran. Jarang-jarang ada pesan obrolan di jam begini. Barangkali saja penting. Terakhir kali mendapat pesan obrolan tengah malam waktu mama masuk rumah sakit, karena asmanya kambuh.

Sebuah pesan whatsapp dari nomer yang tidak tersimpan namun agak familiar di ingatanku masuk, isinya menanyakan kabar.

Aku mengerutkan kening, memikirkan siapa yang tengah malam begini mengirim pesan obrolan hanya untuk mengetahui keadaanku. Kulirik lingkaran kecil di sebelah kiri nomor pengirim lantas menemukan sebuah foto lelaki berkacamata duduk menyila memangku anak perempuan yang sepertinya seumuran dengan keponakanku.

Kutekan layar di mana lingkaran kecil itu berada, lantas muncullah gambar berukuran lebih besar lagi, lebih jelas dari sebelumnya. Seketika ingatanku memutar memori beberapa tahun silam. Saat pertama kali mendengar kabar dari dia, di waktu sibuk-sibuknya lembur menyelesaikan laporan penerimaan barang yang mesti kelar sebelum pukul sepuluh.

“Aku mau nikah,” ucap suara di seberang telepon.

Aku kehilangan kata-kata. Mataku terasa panas, lalu tanpa aba-aba bulir-bulir bening meluap dari pelupuk. Ingin rasanya kuteriakkan Selamat! Semoga kamu bahagia! Pada lelaki di ujung telepon itu, namun yang keluar dari bibirku hanya kelu. Mirip desau angin di musim kemarau.

Aku tak pernah menyangka kabar pernikahan dari lelaki itu akan semenyakitkan ini. Sebab sejak awal sudah menyiapkan hati jauh-jauh hari sebelumnya. Mewanti-wanti ujung dari hubungan yang mustahil akan berpangkal ke pelaminan ini.

Dia ibarat langit yang hanya bisa kupandangi dari kejauhan. Yang kadang mengirimi hujan dan tidak jarang pula membanjiriku dengan cahaya matahari. Lantas, setelah keduanya, dia beberapa kali menampilkan pelangi. Tapi, dari semua itu, ada hal yang paling kusukai dari langit, yaitu warna kemerahan yang hanya muncul di kala senja.

Namun sekali lagi: langit itu hanya bisa kupandangi. Aku tidak ingin menjadi tamak dengan membayangkan bahwa suatu hari nanti dia bisa kuraih dan bahkan kumiliki.

Dan rupanya, cinta adalah sesuatu yang dilesakkan Tuhan ke hatiku. Aku tidak bisa mengingkarinya, juga memaksakannya. Maka ketika perasaanku pada lelaki itu mulai kusadari sebagai cinta, aku hanya bisa pasrah. Tapi sekali lagi, perasaan cinta yang meluap seringkali terlalu sulit disembunyikan. Dia melihat itu dengan jelas dari sikapku, dan aku menangkap hal yang sama dari matanya, dengan begitu gamblang.

Sayangnya, dia adalah putra pemilik pesantren tempatku menimba ilmu. Di kemudian hari, sesuai tradisi, penerus pesantren selalu hanya akan dinikahkan dengan perempuan bernasab sama. Dia beberapa kali telah menjelaskan padaku, dan tentu saja hal itu telah kupahami dengan baik, bahkan jika dia tidak memberitahukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline