Lihat ke Halaman Asli

Indahnya Nestapa

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kamu datang berkereta kencana Membawa setangkai bunga Sambil berkata,”Sayang, hari masih pagi. Ikutlah denganku menyemai benih.” Kulihat di timur, seberkas sinar menerobos masuk hingga ke dalam relung-relung jiwa Menghangatkan nadi dan nafasku dalam lega. “Mengapa kau begitu tenang? Padahal hari kering begini paceklik dimana-mana, semua hasil panen tak mampu terbeli?” Ia tersenyum manis sekali, dan apakah karena dia keturunan raja yang membuatku jengah mengapa ada tawa di balik semua nestapa. “Aku tahu yang kaufikirkan!” Aku hanya mengenyitkan dahi, “Apa yang aku fikirkan?” “Naiklah bersamaku, kau akan tahu.” Dia membawaku melintasi luasnya sahara, juga menyebrangi luasnya samudra, mengelana di atas awan dan mega… Tapi aku masih tak mengerti. Pada suatu malam ia bekata,”Tak harus menangis untuk merasakan betapa dalamnya nestapa, lihat, rasakan, datangi dan jemputlah dengan uluran kedua tanganmu.” Oh, aku baru merasa. Bahwa lidah tak cukup bijaksana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline