Mereka bilang, Indonesia sekarang sudah punya kebebasan. Kebebasan berpendapat namanya. Suara, komentar, bahkan kritik dari segala kalangan dapat dimuat dan disebarluaskan tanpa perlu takut akan teror penjara atau pun pengasingan. Ditambahnya kemajuan teknologi semakin mempermudah khalayak untuk mengutarakan apa yang ada di dalam benak mereka. Namun, nyatanya dewasa ini keleluasaan tersebut malah memancing banyak masalah yang tak sedikit berujung ke meja hijau dan jeruji. Bukan hanya karena penyimpangan dari kebebasan berpendapat ini, tetapi juga polemik antara batasan dan sanksi yang justru mengekang dan malah memberi teror tak kasat mata pada masyarakat.
Sudah sejak lama hak atas kebebasan berpendapat/beropini digaungkan Konstitusi Indonesia, seperti dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak atas kebebasan berekspresi tersebut terus diperkuat dan dijamin keberadaannya dengan berbagai perundang-undangan. Selain itu, menginigat semakin liarnya penggunaan media digital dalam berbagi pendapat, Indonesia menghadirkan UU ITE yang memberi batasan penggunaan teknologi dalam berekspresi. Tetapi, rasanya semakin hari kehadiran undang-undang tersebut malah melemahkan kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak pihak malah memanfaatkan pasal karet itu untuk melampiaskan ketidaksetujuan atas pendapat yang diterima.
Seperti yang tertera dalam situs tempo.co, tercatat hingga Oktober 2020 saja sudah ada empat belas peristiwa dan 25 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Dhandy Dwi Laksono, diproses karena cuitannya di Twitter mengenai kondisi Papua yang dianggap mengandung ujaran kebencian. Lalu, ada Ananda Badudu, musisi yang ditangkap karena menggalan dana untuk mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap revisi UU KPK. Ia dinilai membayar massa untuk tindakan anarkistisnya. Ada pun yang baru-baru ini terjadi, yakni kasus pelaporan Bima Yudho Saputro atas kontennya yang mengkritik pemerintah daerah Lampung di media sosial. Padahal, dia hanya mengungkapkan fakta yang sungguh ada di lapang, berharap ada tindakan yang diambil pemerintah Lampung untuk menindaki jalanan rusak yang cukup membahayakan pengguna jalan daerahnya.
Kemana demokrasi yang dibangun dari kritik dan pendapat rakyatnya? Kalau melihat sejarahnya, sangat tidak mudah bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kebebasan ini. Sudah 25 tahun pasca reformasi, setelah lepas dari bungkaman pemerintah yang tak ingin diganggu-gugat keputusannya, bukannya semakin maju dan berkembang, tapi rakyat malah dibungkam lagi dengan lembut oleh teror UU ITE yang bisa dipakai sebagai senjata untuk melawan orang lain, bahkan jika itu sebuah fakta sebenar-benarnya.
Hal yang lebih aneh lagi adalah hukum atas UU ITE dan kebebasan berpendapat baru akan terasa ketika bersangkutan dengan kritik terhadap satu pihak--terlebih terhadap pihak berkedudukan tinggi, sementara hal-hal seperti hoaks, cyberbullying, dan tindakan kriminal dan tak bermoral lainnya yang menimpa rakyat kecil masih saja menjatuhkan korban. Ada banyak pihak dirugikan, baik materi maupun hilangnya nyawa seseorang. Seberbahaya itu pendapat seseorang mempengaruhi orang lain, tapi sampai sekarang masih belum ada solusi untuk mengatasi atau menghentikannya.
Kalau sudah begini, eksistensi kebebasan berpendapat jadi diragukan. Bersuara sedikit di media sosial, diadukan. Berkomentar sedikit, dikejar polisi. Di sisi lain ada yang merasakan ketidakadilan dari kebebasan berpendapat tersebut. Sebab, Undang-Undang yang mengatur dan melindungi malah ikut tidak terasa kehadirannya juga.
Hak kebebasan berpendapat ini agaknya perlu dievaluasi lagi, berikut dengan Undang-undang ITE yang dirasa masih tidak adil dalam menyikapi aktivitas berekspresi di dunia digital, lebih tepatnya di media sosial. Seperti dalam pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Tidak ada penjabaran spesifik bagaimana bentuk penghinaan yang dimaksud, yang dirasa layak untuk ditindak secara hukum. Contoh lain, misalnya Pasal 28 tentang penyebaran berita bohong yang menyesat dan mengakibatkan kerugian konsumen. Berita bohong ini bisa saja menurut sebelah pihak. Sehingga kemudian dapat diputarbalikkan faktanya oleh yang menentang.
Dari sini bisa terlihat pasal-pasal dalam UU ITE itu benar-benar karet. Bisa dipermainkan dan diakali seenaknya. Disesuaikan agar terdakwa bisa dihukum karena telah mengemukakan hal yang tak sepantasnya, menurut pengadu. Jika dibiarkan, bisa-bisa kebebasan ini akan sepenuhnya hilang dan Perundang-undangannya hanya akan menguntungkan yang berkuasa atas banyak aspek.
Tak hanya pemerintah yang harus memikirkan melemahnya kebebasan berpendapat ini. Rakyat pun harus sadar diri, untuk tidak menyalahgunakan hak tersebut. Ada baiknya sebelum berkata lewat ketikan, dicari terlebih dahulu bukti atau fakta sebenarnya. Dipikirkan ulang untuk mencegah pihak-pihak tersinggung.
Walau terkadang masih saja ada pihak-pihak yang naik pitam atau menentang dan memancing perdebatan. Itu wajar saja. Isi kepala setiap orang pasti berbeda. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.