Lihat ke Halaman Asli

Mail Bride Order: Perdagangan Manusia dengan Modus Pernikahan Lintas Negara dan Upaya Penyelesaiannya oleh Pemerintah Indonesia

Diperbarui: 7 Maret 2024   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Awalnya praktik pengantin pesanan atau Mail Bride Order ini berasal dari perbatasan Amerika pada abad ke-19, pada waktu itu jumlah laki-laki di perbatasan melebihi jumlah perempuannya, sehingga mereka kesulitan untuk mencari istri. Namun saat ini, istilah Mail Bride Order ini digunakan untuk menggambarkan proses perdagangan perempuan dari negara berkembang dengan bantuan sindikat perdagangan orang untuk dinikahkan dengan laki-laki yang membelinya. Di Indonesia sendiri praktik ini awalnya dilakukan dengan mengirimkan perempuan ke Taiwan, kemudian sekitar tahun 2000-an permpuan Indonesia mulai menjadi target dari praktik ini untuk dijual ke China (Husnah, 2022).

Modus dari praktik pengantin pesanan ini dilakukan dengan cara, laki-laki memesan pengantin melalui 'mak comblang', kemudian 'mak comblang' tersebut akan mencari korban dengan menjanjikan akan mendapatkan uang yang banyak dan kehidupan yang layak di negara asal 'pembelinya'. Maka dari itu banyak sekali korbannya yang berasal dari pedesaan dan dengan kondisi ekonomi menengah kebawah yang ingin mengubah nasibnya. Setelah korbannya menyetujui, maka proses selanjutnya akan melibatkan aparat pemerintahan untuk memalsukan beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk pernikahan. (Hakiki & Khairur Rijal, 2022)

Setelah dilakukan pernikahan dan perempuan tersebut dibawa ke negara asal suaminya, bukannya mendapatkan kehidupan yang layak, mereka justru mendapatkan penyiksaan, seperti menjadi korban eksploitasi bekerja, eksploitasi seksual, yang berujung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Praktik ini jelas mengakibatkan korban.

Maraknya kasus TPPO dengan modus "pengantin pesanan" atau Mail Bride Order ini dikarenakan adanya faktor ekonomi, karena kesenjangan kesejahteraan antar negara yang menjadi penerima korban Mail Bride Order ini, serta kebanyakan para korban berasal dari keluarga yang ekonominya rendah, maka saat mereka diiming-imingi hidup yang layak, mereka tertarik dan mengharapkan hidup yang layak di negeri orang. Factor lainnya adalah adanya ketidaksetaraan gender. Nilai sosial budaya patriarki yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, menjadikan pernikahan muda bagi perempuan adalah jalan mudah bagi mereka agar dapat keluar dari kemiskinan, karena mereka menganggap anak perempuan menjadi beban ekonomi didalam keluarga. Factor-faktor lain yang adalah rendahnya Tingkat Pendidikan terlebih lagi di daerah pedesaan, sulitnya mendapatk pekerjaan karena lapangan pekerjaanya terbatas, Tingkat pengangguran yang tinggi, dan tidak memiliki keterampilan.

Pada tahun 2017 terdapat 29 perempuan Indonesia yang menjadi korban dari Mail Bride Order di China, 9 orang diantaranya berhasil di pulangkan ke Indonesia. Kemudian, pada tahun 2019 terdapat 28 korban dan dapat dipulangkan oleh Kementrian Luar Negeri Indonesia, sisanya 9 orang dipulangkan oleh Dewan Pengurus Pusat PSI. Di tahun yang sama, Serikat Buruh Migran juga menangani 22 kasus pengantin pesanan tersebut. Di tahun yang sama, 2019 teridentifikasi Kembali korban MBO sebanyak 42 orang perempuan, 36 orang diantaranya berhasil dipulangkan ke Indonesia.(Hakiki & Khairur Rijal, 2022)

Sejak awal kemunculannya, pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan ini. Salah satunya adalah dengan menjalin hubungan Kerjasama dengan pemerintah China. Kerjasama ini membuahkan hasil, terbukti pada tahun 2019 KBRI Beijing berhasil menangani kasus MBO sebanyak 86 kasus, 62 kasus diantaranya korban dapat dipulangkan ke Indonesia(Hakiki & Khairur Rijal, 2022). Dalam hubungan Kerjasama tersebut, baik pemerintah Indonesia maupun China sepakat untuk memperketat prosedur pemberian izin pernikahan antar negara, serta pemberian surat legalisasi dari pernikahan antar negara. Selain itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia juga membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tidak Pidana Perdagangan Orang (GT TPPO) sebagai wujud perlindungan bagi untuk WNI yang merupakan salah satu tugas Kementerian Luar Negeri Indonesia. Kementerian Luar Negeri RI juga melakukan sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dari modus pengantin pesanan ini(Astriviany, n.d.).

Selain menjalin Kerjasama dengan China, pemerintah Indonesia juga menjalin Kerjasama dengan beberapa negara lain. Seperti pada tahun 2005, dilakukan Konferensi Kepolisian ASEAN yang menghasilkan sebuah kesepakatan Kerjasama regional untuk menangani kejahatan lintas negara, salah satunya kejahatan human trafficking. Pada tahun 2006 dibentuk General Border Committee (GBC) terdiri dari tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Komite ini memberikan instruksi kepada pihak kepolisian dan apparat pemerintahan lainnya untuk menjalakan tugasnya dengan baik dan meningkatkan Kerjasama dalam memberantas kejahatan perdagangan orang serta pengawasan di daerah perbatasan. Selain dengan negara-negara ASEAN, Indonesia juga melakukan Kerjasama dengan Australia yang menghasilkan Bali Process Regional Ministerial Conference (Bali Process) yang focus pada peningkatan perbatasan serta penegakkan hukum kasus pemalusan dokumen, dan implementasi system perundang-undangan (Hakiki & Khairur Rijal, 2022).

Upaya penangan juga dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan membuat database Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan (SIMFONI) untuk memfasilitasi pencatatan kekerasan berbasis data layanan di daerah-daerah. Untuk kasus TPPO Gugus Tugas pusat bekerjasama dengan International Organization for Migration (IOM) dan organisasi-organisasi migrasi internasional lainnya untuk melakukan peningkatan database dan mekanisme pendataan kasus-kasus TPPO di Indonesia. Pada tahun 2019 juga pemerintah Indonesia melakukan kampanye dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang dihadiri oleh Kemen PPPA, SBMI, dan juga IOM .

Selain dilakukan oleh actor negara, penanggulangan TPPO MBO ini juga dilakukan oleh actor-aktor non negara, seperti Yayasan Vivat Indonesia yang bekerjasama dengan PBB. Economic and Social Council (ECOSOC), PADMA dan Jarnas Anti TPPO. Yayasan Vivat melakukan pendapimngan pada saat penyelesaian persoalan di ranah hukum, dan juga memberikan pendampingan pada proses pemulihan psikologis kepada korban MBO. Selain itu, ada Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), SBMI membantu advokasi dan pemulangan para korban ke Indonesia

Referensi:

Astriviany, M. (n.d.). ANALISIS UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGATASI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline