Pesatnya perkembangan di bidang IT membuat masyarakat mudah mengakses dan mengutarakan pendapatnya di media sosial. Tetapi, satu hal yang perlu menjadi batasan adalah adanya undang-undang yang mengatur informasi dan transaksi elektronik. Sehingga, masyarakat juga mengerti batasan seperti apa yang bisa dan tidak bisa diutarakan di media sosial serta konsekuensinya jika melewati batas.
Di Indonesia, terdapat UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan dari UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Undang-undang tersebut menuai banyak kontroversi karena dinilai multitafsir. Sejumlah pasal dinilai sebagai pasal karet yang bisa berdampak pada regresi demokrasi, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, maupun mengajukan kritik di dunia maya. Hal tersebut berdampak pula terhadap mudahnya seseorang menggugat seseorang dengan penafsiran yang salah dan sepihak.
Sejak dirilisnya UU ITE terdapat ratusan kasus yang terjadi. Mereka terdiri dari berbagai profesi dan latar belakang seperti guru, murid, aktivis, karyawan, penulis, mahasiswa, ibu rumah tangga, advokat, hingga musisi. Kebanyakan kasus terjadi di kota-kota besar. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengert perangkat hukum untuk menjebloskan orang ke dalam penjara ketika mereka tidak meyukainya.
Mereka bisa melakukan atas tuduhan ujaran kebencian maupun pencemaran nama baik. Pasal-pasal karet inilah yang sering dimanfaat oleh mereka-meraka dengan multitafsir sepihak demi kuntungan pribadi. Bila di kota-kota kecil lebih cenderung politik oligarki lokal memainkan kekuasaannya dengan menggunakan UU ITE sebagai cara membungkam mereka yang dianggap kritis ataupun hanya sekedar melakukan curahan hati atau isu sosial yang terjadi di lingkuan tersebut.
Berjalannya waktu memang UU ITE tidak bisa dipisahkan dari polarisasi politik yang membelah masyarakat menjadi dua pilihan. Kemudian akan semakin banyak kasus serupa dan mengkriminalisasi segala hal yang berkaitan dengan pemerintah maupun seseorang yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kedepannya perlu adanya revisi UU ITE termasuk merivisi pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet yang multitafsir dan upaya kriminalisasi. Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet juga menyatakan bahwa ada sembilan pasal yang bermasalah dengan UU ITE karena dinilai melenceng jauh dari tujuan awal tentang mengatur transaksi elektronik.
Adanya wacana revisi pada tahun 2021, Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyatakan bahwa akan dilakukan revisi terbatas pada UU ITE yang menyangkut substansi perbuatan yang dilarang, yaitu pasal 27, Pasal 28, pasal 29, pasal 30, dan adanya tambahan pasal 45c. Karena pasal tersebut dianggap mengancam kehidupan demokrasi. Ruang bagi masyarakat untuk mengutarakan pendapat menjadi terbatas. Setiap yang diutarakan masyarakat selalu saja dicari kesalahannya. Keadilan perlu ditegakkan terlebih terkait hak hak individu.
Salah satu contoh kasus yang terjadi dari pasal yang akan direvisi tersebut, yaitu kasus yang menimpa Ahmad Dhani dan didakwa dengan Pasal 45 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto, Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juncto, dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tuduhan tersebut menyebutkan bahwa postingan Ahmad Dhani dapat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok atau masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Hal ini berdasarkan tiga postingan yang dilakukan Ahmad Dhani dalam akun Twitternya @AHMADDHANIPRAST.
Pada postingan pertama bertuliskan, "Yang menistakan agama si Ahok... yang diadili KH Ma'ruf Amin...". Kemudian pada postingan kedua bertuliskan, "Siapa saja dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya". Selanjutnya yang terakhir bertuliskan, "Kalimat sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur... kalian WARAS???". Dari postingan tersebut, secara tidak langsung dapat menimbulkan rasa kebencian serta keresahan pada masyarakat dan juga berpotensi untuk memecah belah antar golongan. Sehingga, hal tersebut menjadi hal yang memberatkan dalam kasus dakwaan ujaran kebencian yang menimpa Ahmad Dhani. Terlebih waktu kejadian tersebut dalam masa pemilihan kepala daerah. Jadi, sangat sensitif bila seseorang terlebih seorang calon kepala daerah melakukan kritikan yang menimbulkan perpecahan.
Dilihat dari sudut pandang manapun memang kasus tersebut tidak ada penyimpangan dalam keputusan dakwaan UU ITE. Tetapi, terdapat celah yang dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan hal tersebut. Terlepas dari hal tersebut, sebagai warga negara yang baik dan jika ingin mengutarakan pendapat, perlu adanya memilah-milah kata yang akan digunakan untuk mengkritik sesuatu hal. Sehingga, selain undang-undang yang direvisi, perlu adanya kerjasama dari masyarakat.
Saat ini banyak masyarakat mengutarakan pendapat dan kritikan secara langsung tanpa memikirkan konsekuensi dari ucapan atau kata-kata yang diutarakan. Edukasi terhadap masyarakat juga penting adanya. Terutama bagi kalangan remaja di bawah umur yang terkadang menerima informasi secara mentah dan sekedar "ikut-ikutan" melakukan kritikan. Hal ini sangat berdampak buruk dari ketidaktahuannya bisa dimanfaatkan oleh pihak yang ingin menjatuhkannya. Ini lah pentingnya kita tidak menerima sebuah informasi secara mentah. Kita masih perlu mengkonfirmasi kejelasan informasi yang di dapat.