Lihat ke Halaman Asli

Cerpen ke 2: Rindu Seorang Anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13531531291051687966

Rindu Seorang Anak

Oleh: Ani Sri Nuraini

Laut siang itu sangat bersih dan indah. Terlihat bersinar seperti kristal berwarna biru, sangat menyejukan. Ia berdiri di sisi kapal yang lain, menjauh dari para penumpang. Ia memandangi langit yang begitu biru dan awan yang begitu putih. Awan itu terlihat seperti gumpalan permen kapas yang siap untuk ia lahap.

Ia berjalan menuju ujung kapal. Terlihat butiran-butiran air laut terpental terhantam ujung kapal yang menimbulkan buih-buih busa, sangat indah. Butiran itu terlihat bersinar seperti mutiara karena pantulan dari matahari siang itu. Burung-burung camar terbang ke sana-ke mari di atas kepalanya, seperti hendak menyapa.

Tak henti-hentinya ia takjub dengan keindahan di atas kapal feri, karena ini kali pertamanya ia menaiki kapal besar seperti ini. Biasanya di kampungnya, Musi Rawas. Ia hanya menggunakan perahu kecil yang sering di sebut dengan bidu’, dan ini kali pertamanya ia berpergian jauh dari kampungnya.

Satu setengah jam lagi kapal itu akan sampai di Pelabuhan Merak. Ia merasa tak sabar untuk cepat-cepat sampai di sana. Ia tak sabar untuk bertemu bapaknya di Jakarta. Ia sudah lama tak bertemu bapak kandungnya kurang lebih enam tahun. Terakhir melihatnya ketika ia kelas 6 SD.

Bapaknya sudah lama tak pulang ke Palembang, karena merantau ke Jakarta dan menetap dengan istri mudanya di sana. Mereka memiliki dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Meski begitu, ia senang memiliki dua orang adik, walaupun bukan dari ibu yang sama.

Ia ingat waktu kecil, ketika kelas 6 SD. Di kampung, bapaknya membawa seorang gadis kecil yang manis ke rumah, sepertinya baru kelas 1 SD. Gadis kecil itu terlihat lucu ketika tertawa. Gadis itu selalu mengganggunya, tetapi ia suka. Ani, itulah nama gadis itu. Nama yang cantik, benaknya.

“Ka Andi,, Ka Andi,, main yuuk,” rengek gadis itu. Apa yang gadis itu bicarakan? Benak Andi ketika mendengar gadis itu bicara. Ia tidak mengerti. Karena di kampung, ia selalu menggunakan percakapan Sumatra bukan bahasa Indonesia. Ia hanya tersenyum ke arah gadis itu, dan melirik bapaknya yang berada di sampingnya. Akhirnya, bapaknya yang menerjemahkan.

Wajar jika adik kecilnya berbicara dengan bahasa Indonesia, karena meskipun sama-sama lahir di Palembang, gadis itu sudah empat tahun tinggal di Jakarta. Akhirnya, Andi mengajak adiknya bermain selama adiknya berlibur di sana. Dari berenang di sungai musi, hingga mengunjungi sanak saudara di kampungnya, Andi sangat senang.

Andi adalah anak ke dua dari dua bersaudara, mereka adalah anak dari istri tua. Kakaknya yang bernama Anton tidak terlalu dekat dengannya, karena ia selalu berpergian untuk bermain dan Anton tidak pernah mengajaknya. Itulah mengapa ia sangat senang di ajak bermain dengan Ani, adik kecilnya.

*

Sekarang Andi sudah berumur 18 tahun, ia sudah berani untuk berpergian jauh sendirian. Rencananya, ia akan bertemu dengan bapaknya di Jakarta dan kuliah di sana. Sebelumnya, ia sudah membicarakan hal itu kepada bapaknya via SMS, dan bapaknya menyetujuinya.

Aaaaah rasanya tak sabar untuk bertemu bapak, benaknya dalam hati. Ia pandangi lagi burung-burung camar yang terbang mengelompok di atas kapal. Meskipun ada rasa benci terhadap bapaknya karena sudah meninggalkannya kurang lebih enam tahun. Namun, entah mengapa rasa benci itu hilang menjadi rasa bahagia. Mungkin karena akan bertemu dengan sosok yang sangat ia rindukan.

Ia memang sudah lama sekali tidak memiliki sosok figur bapak di hidupnya. Ia terkadang iri dengan teman-temannya yang memiliki bapak. Ketika teman-temannya memancing dengan bapaknya, ia hanya memancing sendirian. Ketika teman-temannya membantu bapaknya memanen buah sawit, ia hanya memanennya sendirian. Betapa miris ketika melihatnya, sedangkan bapaknya jauh darinya, sangat jauh.

Ia kembali ke tempat di mana para penumpang berkumpul. Sepertinya, perutnya sudah terasa lapar. Ia berjalan menuju kantin di kapal itu. “Ibu, pop mie satu ya,” pintanya. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, ia mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmati segelas mie instan itu.

*

Kapal sepertinya akan berlabuh, perjalanan panjang yang di tempuh akhirnya akan berakhir. Andi ingin cepat-cepat turun dari kapal, ia sudah merasa tak sabar dan bosan jika harus berada di atas kapal terus menerus kurang lebih selama dua jam.

Sesampainya di Pelabuhan Merak. Ia sangat heran, yang menjemput dirinya di sana bukanlah bapaknya, melainkan kakak bapaknya. Ia bertanya kepada uwanya, “Wa, kenapa bukan Bapak yang menjemput? Apakah ia sibuk,” uwanya terdiam sangat lama. Lalu sosok pria sudah sedikit tua di sampingnya yang ia panggil uwa itu menjawab dengan sedikit ragu, “iya.”

Selama perjalanan, di dalam mobil Andi tidak berani untuk menanyakan soal bapaknya lagi, karena ia tidak ingin merusak rasa senangnya. Ia sangat menikmati perjalanan menuju rumah bapaknya. Tak henti-hentinya ia melayangkan pandangannya ke luar jendela mobil. Banyak sekali gedung-gedung tinggi dan pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Rencananya, ketika tinggal di Jakarta. Ia ingin mengunjungi Monas dan tempat-tempat rekreasi di Jakarta seperti Kota Tua, Dufan, dan tempat-tempat lainnya. Ia sangat penasaran dengan semua tempat itu, karena ia hanya mengetahui tempat-tempat itu dari televisi saja. Namun sepertinya rencana itu tidak akan tercapai.

*

Akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar, dinding bercat hijau dan memiliki gerbang di depannya. Rumah itu terlihat bagus bagi Andi. Tetapi ia sangat bingung, banyak sekali orang yang berdatangan ke rumah mungil itu, sangat banyak sehingga ia tidak dapat menemukan sosok bapaknya dari pandangannya.

Apakah ini sebuah pesta? Benaknya. Tetapi ia sangat heran, jika ini sebuah pesta mengapa orang-orang memakai baju kokoh dan berkerudung. Mengapa wajah setiap orang yang datang begitu terlihat sedih. Tiba-tiba entah mengapa hatinya merasa sangat sakit, ia bingung perasaan apa ini.

Andi melayangkan pandangannya kepada uwanya, yang ternyata dari tadi memegang pundaknya. Raut wajah uwanya terlihat sangat sedih, dari mata yang sudah menua terlihat butiran kecil air mata turun di pipi. Ada apa ini? Mengapa semua orang menangis dan bersedih, benaknya dalam hati. Andi semakin heran dengan keadaan ini.

Andi ditemani uwanya berjalan menuju teras rumah itu, ia baru menyadari ada bendera kuning di sana. Bukannya bendera itu menunjukan adanya seseorang yang meninggal? Mengapa bendera itu berada di sini? Siapa yang meninggal? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya.

Di teras itu terlihat hordeng yang di bentuk menjadi ruangan, entah apa yang ada di dalamnya. Tiba-tiba uwa membuka hordeng itu, Andi melihat sosok seorang pria yang berbujur kaku tertutup sebuah kain hingga ke muka. Ketika kain yang menutup muka di buka, betapa terkejutnya Andi. “Astagfirullah,” Andi tak kuasa menahan air matanya terjatuh. Air mata itu terjatuh sangat deras. Lututnya saat itu sangat lemas hingga ia terjatuh ke lantai.

Ternyata, sosok pria itu adalah bapaknya. Seorang yang tak ditemuinya selama enam tahun, seorang yang mengajak bermain dengan adik kecilnya ketika ia masih kelas 6 SD. “Ya Tuhan, mengapa hal ini harus terjadi denganku?” ia menangis meronta-ronta, ia histeris. Ia seperti kesetanan, badannya sudak tak terkontrol, ia menangis sejadi-jadinya. Semua mata di sana tertuju padanya.

Di keremuan orang-orang dewasa terlihat sepasang mata kecil yang memperhatikannya, mata kecil itu terlihat membengkak, seperti habis menangis. Ia memandangi Andi yang sedang menangis di samping jenazah bapaknya. Ternyata sepasang mata itu adalah milik gadis kecil yang dulu mengajaknya bermain. ya! Ani, ia sudah terlihat besar dari terakhir ia bertemu.

Andi tidak menemukan sosok emak mudonya. Ternyata ibu tirinya itu pinsan berkali-kali, karena tidak kuat menghadapi kenyataan di tinggal oleh suaminya tercinta. Perasaan Andi saat ini sangat hancur, bagaimana tidak? Sosok yang ia rindukan sudah tidak bernyawa lagi.

Semakin siang semakin banyak orang yang berdatangan, hati Andi masih terasa sesak. Ia masih tidak menyangka hal itu terjadi kepadaya, dan mau tidak mau ia harus membatalkan semua keinginannya di Jakarta. Ia memutuskan setelah seratus harian bapaknya nanti, ia akan kembali ke kampungnya, di Palembang. Ia akan kuliah di sana.

*

Lima tahun kemudian setelah hari berduka itu, Andi mengabarkan kepada emak mudo dan adik-adiknya dari tempat ia berada di Palembang. Jika ia sudah lulus dan menjadi sarjana hukum. Kini ia sudah menikah, dan memiliki satu anak, seorang anak laki-laki.

Meski ia sudah menikah dan memiliki anak, ia akan selalu mengingat kebersamaannya bersama mendiang bapaknya dan adiknya tercinta. Semoga kaubahagia di surga Pak, Andi selalu menyayangi Bapak selamanya, doanya dalam hati. END

Nb: cerpen ini adalah kisah nyata yang di ambil dari kisah kakakku Ka Andi yang bertemu dengan Bapakku dalam ke adaan seperti itu. Cerpen ini di dedikasikan kepada Kak Andi dan almarhum Bapakku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline