George Duke. Saya jatuh cinta sekali dengan lagu-lagunya, terutama kolaborasinya dengan Lee Ritenour dan 2 lagunya yang sering diputar di mobil Ayah, Sweet Baby dan Born to Love You.
Saya masih ingat beberapa waktu lalu, tepatnya di minggu terakhir dan minggu pertama di bulan Maret, timeline Twitter saya penuh sekali dengan pembicaraan mengenai Java Jazz Festival tahun ini beserta hashtag #JJF-nya ataupun pernyataan-pernyataan yang ditujukan untuk akun resmi Java Jazz Festival (JJF) 2010. Mulai dari penulis muda sampai artis mancanegara seperti John Legend pun nge-tweet tentang hal yang sama. Semua orang seakan-akan harus tahu dan memang selanjutnya akan tahu bahwa JJF akan menjadi salah satu acara paling meriah di tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari orang-orang yang sudah membeli tiket early bird atau yang masih menunggu pesanan tiket online-nya datang, sampai yang hanya bisa mengeluh bisa datang ke JJF tahun ini karena ketidakadaannya uang untuk membeli tiket pun tahu kalau suasana di tempat JJF diselenggarakan masih akan tetap sama : penuh sesak dengan orang-orang kelas atas yang beberapa diantaranya mungkin datang hanya sekadar sebagai penanda hadirnya mereka dalam perhelatan internasional di Indonesia.
Kuis di Harian Kompas yang, Alhamdulillah, saya menangi bulan lalu. Thank you, Kompas :)
Sebagai pecinta musik jazz, kadang saya sangat menyayangkan perihal terkenalnya musik jazz di Indonesia sebagai musiknya orang-orang kelas menengah ke atas (the haves). Saya tidak tahu kenapa pandangan seperti ini bisa ada dan menyebar di antara semua kalangan. Saya juga tidak tahu ini karena kebanyakan orang membandingkan music jazz dengan para pembeli tiket helatan jazz terbesar di Indonesia, Java Jazz Festival, yang kebanyakan berasal dari kalangan the haves (dan memang kebetulan harga tiketnya juga terbilang mahal) atau memang sudah ada dari saat ayah dan ibu saya masih berpacaran. Saya sendiri bukan berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Kehadiran saya di JJF tahun ini (itupun hanya hari Minggu-nya saja) semata-mata karena terpilihnya saya sebagai pemenang dari sebuah kuis yang diselenggarakan oleh Kompas Muda dalam rangka ulang tahun Kompas Muda yang ke-3, 5 hari sebelum JJF diselenggarakan. Well, saya rasa uang bukan segalanya. Kalau sudah cinta dengan musik jazz (atau hal apapun), nggak akan ada sesuatu yang bisa menghalangi. Kalau nggak punya duit untuk beli tiket daily pass baik yang early bird atau yang bukan, masih bisa nonton versi rekamannya di TV. Yang penting kanbukan kehadiaran fisik kita yang ada di acara itu, tapi justru sense of listening-lah yang harus ada agar bisa merasakan apa esensi dari musik jazz itu sendiri. Untuk tahun ini, saya yang hanya menang tiket daily pass hari Minggu dari Kompas tidak bisa menyaksikan artis kesukaan saya, Manhattan Transfer, secara langsung karena tidak mampu beli tiket special stage-nya. Ini juga berlaku bagi artis-artis special stage yang lain termasuk John Legend. Sayang memang, tapi nggak apa-apa, toh mereka juga cuma manggung selama 2 jam, hehehe…
Beberapa waktu yang lalu, jauh sebelum JJF tahun ini diadakan, saya pernah membaca artikel mengenai perihal harga tiket JJF tahun 2010 yang menjadi lebih murah dibanding tahun-tahun sebelumna. Jujur, saya sendiri juga merasa bahwa JJF tahun ini memang jauh lebih ramai dan sepertinya hal ini dikarenakan harga tiket yang lebih murah. Walau hanya datang hari Minggu (7 Maret), ada saja stasiun TV yang menayangkan langsung setiap harinya dari PRJ Kemayoran dan teman-teman yang senantiasa memperbaharui status Twitternya setiap beberapa menit sekali mengenai keadaan terbaru dari JJF 2010 sehingga saya bisa membayangkan berada di sana di hari Jum’at dan Sabtunya. Dari tayangan di TV dan status Twitter saja saya bisa tahu bahwa tahun ini, yang datang ke JJF hanya dengan kaos oblong dan jeans ada jauh lebih banyak jumlahnya. Bahkan anak-anak muda, baik yang masih SMP sampai yang sudah jadi mahasiswa pun bisa terlihat kehadirannya jauh lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya, walau masih belum bisa mengalahkan jumlah penonton dari golongan umur 28 tahun keatas. Lagi-lagi, saya tidak tahu ini dikarenakan harga tiket yang lebih murah atau memang karena Kemayoran adalah tempat yang strategis.
Foto di atas adalah David Murray, salah satu saxophonist favorit saya selain Dave Koz dan Kenny G.
Walau sempat membuat saya miris, kadang saya tertawa kalau mengingat bahwa saya bisa menemukan berbagai macam tipe orang di acara JJF itu. Mulai dari anak kecil yang masih ingusan, fotografer yang (nggak tahu cuma karena pengen kelihatan profesional, pamer, atau memang karena beneran profesional) membawa 2 kamera lengkap dengan lensa tele, tripod, dan flash-nya, sampai wanita yang berpakaian minim (kemben, hot pants, dan thongs) pun bisa saya temui disana. Dan yang anehnya lagi, saya benar-benar nggak ngerti ini karena terlalu gengsi, atau memang karena mager (alias ‘malas-gerak’) dan ngerasa nggak terlalu penting, atau memang karena nggak hafal tampangnya, setiap ada musisi yang lewat dengan peralatan mereka, baik yang sudah selesai tampil dan yang belum, orang-orang yang lalu lalang di acara JJF itu hampir tidak ada yang meminta foto bersama. Saya sendiri, Alhamdulillah, berkesempatan berfoto bareng dengan Oele Pattiselano, salah satu bassist-nya David Murray yang saya tidak tahu namanya tapi saya tahu dia Muslim, dan Dwiki Dharmawan hanya dalam 1 hari itu. Ketiganya sangat baik dan ramah waktu diminta foto bersama. Untuk Oele Pattiselano, saya ingat sekali bahwa ia adalah orang yang saya hampir tabrak saat berjalan ke stage-nya Elfa Secoria. Refleks saya hanya tersenyum dan meminta maaf pada orang tersebut, tapi saat saya memandang muka orang itu, betapa terkejutnya saya saat mengetahui bahwa ia adalah salah seorang musisi jazz Indonesia yang saya kagumi! Saya tidak pernah menyangka kalau musisi seperti Oom Oele berjalan di jalan yang sama yang dilewati orang-orang yang datang ke JJF (saya kira para musisi yang tampil punya jalan sendiri untuk keluar-masuk). Ini mungkin bisa menjadi salah satu hal yang unik di helatan JJF ini. Kalau musisinya saja diperlakukan sama, kenapa kita sebagai orang biasa malah memperlakukan musik jazz sebagai musiknya orang kaya?
Yang bikin saya miris lagi, saya ingat bahwa saat sedang berjalan menuju stage di area B, saya bertemu dengan 2 orang teman sesama mahasiswa satu kampus disana yang kebetulan saya tahu betul kalau mereka bukan penikmat musik jazz. Saya ajukan pada mereka pertanyaan yang biasa ditanyakan sesama penonton JJF, “Lagi mau nonton apa?”. Mereka hanya nyengir sambil berpandangan satu sama lain. Keduanya membawa kamera DSLR saat itu. Saya yang bingung pun bertanya lagi, “Emangnya pada lagi mau kemana sih?” Salah satu dari mereka yang masih nyengir menjawab, “Nggak tahu mau nonton siapa, Shey. Kita nggak tahu nama-nama artisnya, jadi kita sih nonton di tempat yang orangnya banyak aja…”
Jujur, saat itu saya cuma bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum miris. Salah siapa dong kalau begini? Promotor JJF yang kurang memperkenalkan artisnya atau memang dasar 2 temen saya yang cuma nyari gengsi datang ke tempat-tempat rame kayak JJF?Kadang saya suka nggak ngerti apa maunya orang-orang yang duitnya kebanyakan…
*Deep thanks to Kompas, especially the Kompas Muda crews for choosing me as one of the winner of the quiz. Never thought that I would be the one of the choosen ones. Really really thanks to the International Java Jazz Festival too for giving me a whole-day full of jazz for the first time in my life. Thanks to my parents for introducing me to this genre since I was only a little kid. Thank you, Al Jarreau and Earth Wind and Fire, for being my first jazz musicians that I knew. I wish the next JJF could bring both of you again like the previous JJFs.
**All photos were taken by me.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H