Lihat ke Halaman Asli

Problematik Covid 19 antara Nyawa Manusia dan Ekonomi

Diperbarui: 6 Januari 2023   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Corona virus atau dikenal dengan covid-19, penyakit ini tidak  ada satu pun yang tahu kapan berakhir, kecuali Allah Swt. Di belahan bumi ini, khususnya negara kita persebaran virus ini telah mengalami pertumbuhan pesat terlihat dari jumlah korban yang terus meningkat dari hari ke hari. Pandemi virus corona membuat pemerintah di berbagai negara pusing bukan main, di satu sisi pemerintah wajib melindungi keselamatan dan nyawa warga negaranya. Di sisi lain, pemerintah juga harus membuat roda ekonomi bergulir.

Dalam mitigasi bencana, pemerintah pusat membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin langsung oleh Letjend Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Benncana ( BNPB).

Tindakan mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat sudah cukup baik dalam menanggapi pandemi yang menghantui masyarakat. Namun berkaca dari negara-negara yang terlebih dahulu terserang pandemi Covid-19, Indonesia lambat dalam menentukan status lockdown (tidak boleh ada yang masuk/keluar dari Indonesia). Nampaknya penetapan status lockdown ini sangat berat dilakukan karena ada pertimbangan kestabilitasan ekonomi.

Penderitaan tidak hanya dialami yang terkena virus mematikan ada dampak turunan yang bersifat masif, diantaranya menurunnya daya beli atau ekonomi masyarakat termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup yang menjadi taruhan masa depan bangsa. Namun denyut semangat juang tak berhenti walau didera pandemi. Tidak sedikit masyarakat yang mengalami kesulitan hidup apalagi di tengah wabah penyakit ini yang mengharuskan diberlakukannya social distancing/physical distancing. Warga masyarakat diharuskan berdiam di rumah (stay at home) pemerintah sangat tegas megaharuskan warganya bekerja dari rumah ( work for home) dan beribadah di rumah tapi manusia boleh hilir mudik? Ini berisiko, jumlah korban terus bertambah, kebijakan tidak efektif untuk sepenuhnya memutuskan mata rantai penyebaran covid-19, sehingga imbauan presiden untuk bekerja di rumah, ibadah di rumah tidak ditaati.

Pertanyaannya, apakah pemerintah sebagai induk dari masyarakat sudah mengubris keadilan? Karena bukan masalah miskin tetapi masalah keadilan yang terbagi secara merata (khususnya, kelas ekonomi bawah). Bukan ingin mengemis, akan tetapi di dalam situasi seperti ini ekonomi masyarakat seakan tidak digubris pemerintah. Apa yang harus dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, penentu arah masa depan bangsa ? Hanya waktu yang bisa menjawab akan hal itu, karena pemerintah berada dalam dilema, antara menyelamatkan rakyat atau meyelamatkan ekonomi yang juga akan berdampak besar terhadap masyarakat Indonesia

Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi bisnis nasional menjadi daerah terbanyak paparan virus corona. Jika Jakarta di lockdown maka dipastikan semua aktivitas ekonomi bisnis secara nasional akan terhambat dan hal ini berpotensi membuat Indonesia mengalami krisis. Jika pemerintah kurang siap, bisa saja terjadi krisis ekonomi yang berujung pada penederitaan rakyat kecil karena harga barang dan kebutuhan pokok akan melonjak tajam karena produksi berkurang.

Wacana yang mengemuka dan kian menguat saat ini adalah rencana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  pada daerah yang dinyatakan telah terpapar, tentu dengan berbagai pandangan baik pro atau kontra. Pro kontra adalah hal yang lazim dalan sebuah kebijakan. Jangan sampai menyesal seperti Italia, yang merasa terlambat menangani covid-19 hingga harus menewaskan seribuan orang warganya dalam waktu yang relatif singkat.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  bertujuan mulia, yaitu menyelamatkan hidup dan kehidupan masyarakat. Namun, kebijakan ini membuat roda ekonomi tidak berputar. Dampak ekonomi yang mengkerut sudah dirasakan oleh berbagai negara. Pembatasan sosial membuat dunia usaha tidak berdaya, karena penjualan berkurang drastis. Di sisi lain, argometer biaya terus bergerak.

Situasi ini memaksa dunia usaha melakukan efisiensi. Tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi fenomena yang tidak terhindarkan di tengah pandemi ini. "Sekarang orang-orang lebih takut pada kemiskinan ketimbang dengan virus, sudah banyak yang kehilangan pekerjaan dan kelaparan"  karena tinggal di rumah mati, keluar rumah mati. Lebih baik meninggal di luar karena berjuang untuk anak istri dari pada tinggal di rumah tapi tanpa solusi pemerintah.

Pemerintah kini tengah menghadapi situasi dilemat dalam mengatasi krisis akibat virus corona atau covid-19. Antara menyelamatkan nyawa manusia dari penyebaran virus atau menyelamatkan perekonomian dari resesi, padahal keduanya sama-sama penting untuk menyelamatkan rakyat.

Melirik lmasa sejarah, Kekaisaran Jepang pernah mengalami hal serupa tapi tak sama, yaitu kota Hiroshima dan Nagasaki yang pada saat itu merupakan pusat roda perekonomian Jepang, dibom atom oleh AS. Bom ini punya kekuatan ledak maha dahsyat yang memaksa Jepang bertekuk lutut menyerah tanpa syarat hingga pada saat itu menewaskan korban ratusan ribu. Paska kejadian tersebut, kita pasti bertanya mengapa Jepang dapat memulihkan perekonomian dalam waktu 1 dekade padahal ahli perekonomian menerka bahwa perekonomian Jepang memerlukan waktu kurang lebih 50 tahun untuk pulih. Namun langkah Kaisar Hirohito sesaat setelah serangan bom atom tersebut mengumpulkan seluruh Jendral yang tersisa dan kaisar Hirohito menanyakan "berapa Guru yang tersisa"?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline