[caption caption="gambar: sindonews.com"][/caption]Jarak Jepara – Semarang kira-kira 85 kilometer. Jarak Jepara – Bandung kira-kira 400 kilometer. Jarak saya dengan Mas Broto Happy nol.
Waktu itu bulan Agustus tahun 2013. Umur karir jurnalistik saya baru sebulan. Kumis saya tetap tipis cenderung tidak ada. Kumis Mas Broto tebal selalu. Seusai parade perayaan keberhasilan Hendra/Ahsan dan Owi/Butet jadi juara dunia bulutangkis, saya sok-sokan mendekati Mas Bro (panggilan akrabnya) untuk ngobrol. Oh ya, sebelum itu saya mengobrol dengan Richard Mainaky sebentar. Tapi dalam masa yang sebentar itu saya berpikir dia Rexy Mainaky, adiknya.
Mas Bro sudah jadi jurnalis bulutangkis sejak 1993. Di waktu yang sama, saya baru tiga tahun keluar dari cetakan. Tapi kabarnya Mas Bro sudah jadi penggawa Tabloid BOLA mulai 1986. Saya? Jangankan masuk cetakan, digambar saja belum.
Dengan usia karir yang sudah 20 tahun, Mas Bro tidak memberikan jarak kepada juniornya. Bahkan kepada saya yang belum pernah sama sekali meliput bulutangkis saat itu. Obrolan sok kenal saya disambut dengan enak. Mas Bro mengajak berlama-lama main BOLA lob yang mudah, alih-alih melakukan smes. Padahal ya bisa saja dia begitu. Dan saya akan maklum saja dengan smes senioritas model begitu.
Di sela obrolan santai itu, Ricky Subagdja datang. Sebelum Ricky ada Susi Susanti. Semuanya adalah legenda bulutangkis Indonesia. Oh maaf salah. Legenda olahraga Indonesia. Untuk bisa ngobrol sesantai itu dengan legenda, tentu saja bukan hal mudah bagi jurnalis. Butuh jam ketik yang sangat tinggi agar bisa begitu.
Dalam beberapa tahun, anda bisa dengan mudah berbincang dengan Susi Susanti ataupun Imelda Wiguna. Tapi butuh bertahun-tahun jam ketik sampai bisa dianggap pantas mendapatkan undangan pernikahan. Mas Bro sudah mencapai tingkatan itu. Saya ingat ia pernah membaca tulisannya tentang pernikahan anak Cik Imelda.
Hari saya meliput ke Cipayung akhirnya tiba. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan dari pelatih dan pemain senior. Sampai akhir karir jurnalistik saya, yang cuma berumur 20 bulan, saya tidak bisa sepenuhnya mendapatkan itu. Dan karena itulah saya kagum dengan Mas Bro.
Mas Bro selalu santai saat mengunjungi Cipayung. Kemeja lengan pendek, celana panjang, sepatu olahraga, dan tentu saja kumis tebal selalu jadi dress code-nya. Tak ketinggalan tas ransel merek salah satu apparel bulutangkis.
Mbak Femi (Detik), Mas Ega (CNN), Mbak Wina (Pikiran Rakyat), dan Mbak Ami (entah sekarang di mana). Itulah segelintir nama yang gerak-geriknya saya pelajari agar bisa mudah cari dengan suasana Cipayung. Jika mereka guru saya, Mas Bro adalah dosen. Caranya membaur, saking cairnya, malah jadi sulit dipelajari. Saya harus mulai dari mana ini.
Tapi dari Mas Bro lah saya mencintai dan memahami bulutangkis. Tanpa Mas Bro, saya tidak akan kenal siapa Peter Gade, Taufik Hidayat, Bao Chunlai, Lin Dan, dan Lee Chong Wei. Tulisan-tulisannya di BOLA yang saya ikut setiap minggu adalah aspal. Aspal yang membantu saya membikin jalan menuju karir jurnalis bulutangkis.
Bulutangkis dengan Mas Bro tidak terpisahkan. Coba ingat-ingat, siapa saja yang sering jadi komentator di TV saat ada laga bulutangkis yang ditayangkan? Kalau tidak Mas Broto ya Bung Daryadi. Nama terakhir ini sayangnya belum pernah saya jumpa sampai akhir hayat karir jurnalistik saya.