Seperti sudah menjadi sejoli, dimana ada meriah di situ ada sampah. Baru beberapa menit sebelum tulisan ini menetas, saya menyaksikan berita (yang sudah keterlaluan rutin dan basi) di televisi tentang bertebarannya sampah di Monas selepas acara malam tahun baru yang dihelat di sana. Melihat raut muka petugas kebersihan yang sedang menyapu sampah-sampah ada rasa kasihan, capai, sekaligus jengkel di hati ini. Kasihan karena di wajah si petugas kebersihan itu terlukis jelas rasa lelah. Capai karena perihal buang sampah sembarangan ini seperti sudah menjadi tradisi tahunan, bahkan harian. Jengkel karena saya berpikir, “Apa sih susahnya buang sampah pada tempatnya?” Ya, kalau dipikir dengan logis buang sampah pada tempatnya memang bukan hal yang kelewat susah. Tempat sampah sudah disediakan, tinggal dicemplungkan, selesai perkara. Tapi selalu ada alasan untuk mengelak dari perkara super sepele ini. Dari pengamatan saya, dua alasan yang paling sering muncul adalah :
- Tempah sampahnya kejauhan
- Nanti juga ada yang bersihin
Kebanyakan orang Indonesia saya perhatikan memang suka sekali asal melempar sampah yang ada di tangan. Padahal di dekatnya sudah ada tempat sampah menanti. Yang menjadi tempat sampah ‘dadakan’ favorit malahan sungai, selokan, ataupun lapangan terbuka. Alhasil, jangan pernah heran kalau jarang ada sungai di Indonesia berada di dekat pemukiman penduduk kondisinya bersih kinclong, kecuali sedang musim penilaian Adipura. Dan ironisnya lagi, kebiasaan buang sampah sembarangan ini menyasar semua segmen, mulai dari balita sampai manula. Ingat peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Asumsi saya, inilah penyebab utama kebiasaan membuang sampah seenak udel. Sudah sering saya melihat saat ada piknik keluarga, banyak orang tua yang secara ‘tidak sengaja’ mengajarkan anak-anaknya cara cepat membuang sampah tanpa repot : asal lempar saja, biarkan berserakan Nak! Ini masalah kebiasaan saja sepertinya. Jika sejak kecil sudah terbiasa membuang sampah seenak udel, merasa oke-oke saja melihat sampah tidak pada tempatnya, bisa dibuat hipotesis bahwa saat sudah besar nanti anak itu akan melanjutkan kebiasaan yang tidak asyik untuk lingkungan itu. Kalau diingat kembali, setidaknya berdasar ingatan saya, pelajaran tentang lingkungan hidup tidak ada. Soal ajaran membuang sampah paling banter cuma ada di mata pelajaran (mapel) PPKn, itu pun terbatas di tiga tahun pertama tingkat SD. Siswa cuma mendapat teori, prakteknya diserahkan ke moral anak yang bersangkutan, bagaimana hal ini bisa berlaku efektif? Menurut saya, kunci utamanya adalah pendidikan lingkungan hidup, baik formal maupun non-formal. Berharap pada pendidikan formal rasanya tak cukup, saya sendiri pesimis melihat kenyataan pendidikan kita bahwa nilai di atas kertas masih menjadi primadona bagi siswa, guru, juga orang tua. Itu pun cuma di mapel yang dianggap bergengsi dan berguna, misalnya fisika, biologi, matematika, kimia, dan bahasa Inggris. Berapa banyak orang tua yang oke-oke saja saat melihat nilai fisika anaknya bobrok tapi nilai seninya melambung tinggi? Yang seperti itu saja jarang, apalagi jika nanti ada mapel lingkungan hidup, bisa-bisa cuma jadi mapel anak bawang. Oleh karena itu, saya lebih suka jalur pendidikan formal, mendidik anak kecil mengenai betapa pentingnya menjaga lingkungan dengan beragam aktifitas yang menyenangkan mereka sekaligus menanamkan secara kokoh nilai-nilai yang ditujukan. Sekali mereka mengerti dan menyetujui pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, pentingnya membuang sampah pada tempatnya, bisa diharapkan nilai-nilai itu akan ditentengnya sampai dewasa, diwariskan ke generasi selanjutnya. Sudah adakah yang melakukannya? Jawabnya, nyatanya, ada! Adalah salah seorang mahasiswa IPB (yang sebentar lagi akan berstatus alumni) bernama Annisa Hasanah yang mempunyai ide brilian seperti itu. Bahwa masalah lingkungan harus diselesaikan dari akarnya, yaitu kebiasaan. Apa yang Annisa lakukan?
Bersama Ecofun Community, Annisa dan kawan-kawan memodifikasi board gamemonopoly yang sudah dikenal luas menjadi EcoMonopoly. Konsepnya sederhana namun brilian, mengajarkan anak-anak dampak negatif dan positif kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan terhadap nasib bumi. Saya bilang brilian karena idenya mengena sekali dengan kodrat anak-anak : main, main, dan main lagi. Cara ini lebih efektif daripada memberi petuah macam-macam, melarang ini itu, atau malah memarahi jika salah. Dengan bermain EcoMonopoly, anak-anak bisa berpikir sendiri mengenai sebab-akibat dari setiap keputusan yang mereka ambil. Penjelasan tentang EcoMonopoly bisa dilihat langsung di sumbernya (klik gambar EcoMonopoly di bawah).
Terkesan remeh? Jangan salah sangka, berkat EcoMonopoly-nya, Annisa sudah berhasil memukau banyak orang dengan ide sederhananya itu, mulai dari China sampai Jerman. Saat menghadiri seminar di China, ketika para peserta lain menawarkan solusi permasalahan lingkungan dengan peralatan berteknologi canggih, Annisa justru membawa board game sebagai solusi, karena baginya akar masalahnya adalah kebiasaan manusia itu sendiri. Teknologi bisa mati dan diganti, sementara kebiasaan yang sudah lama tertanam akan lebih awet, begitu asumsi pribadi saya. Cerita lengkapnya silakan baca di blognya Annisa. Butuh lebih banyak orang seperti Annisa Hasanah, orang-orang yang tidak cuma mengoceh (seperti saya ini >_<), orang-orang muda yang bergerak dan menginspirasi untuk bisa mengubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik. Berhubung banyak orang membuat harapan impiannya di tahun baru ini, maka saya juga ingin juga bikin yang serupa. Di tahun 2012 ini, saya ingin membantu Teh Nisa untuk memassalkan EcoMonoply (yang sudah didaftarkan di Dirjen HAKI dan berganti nama menjadi Ecofunopoly) ke masyarakat Indonesia, terutama anak-anak SD. Kebetulan saya kenal dengan CEO Kummara, Eko Nugroho, yang merupakan satu-satunya board game developer di Indonesia, yang memiliki visi yang sama bahwa board game bisa menjadi ajang pendidikan disamping untuk bermain melepas tegang. Semoga niat ini direstui Allah, dan banyak pihak yang membantu sehingga sedikit demi sedikit akan muncul banyak generasi hijau di bumi Nusantara, amin ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H