Solo Batik Carnival (SBC) memasuki penyelenggaraan yang keempat kalinya di tahun 2011 ini. Mengusung tema Amazing Legend (Keajaiban Legenda), SBC #4 menampilkan empat legenda terkenal di Jawa yaitu : Roro Jonggrang, Ratu Pantai Selatan, Ratu Kencana Wungu, dan Ande-ande Lumut. Berbeda dari penyelenggaraan penyelenggaraan sebelumnya, SBC #4 dihelat pada malam hari. Pemindahan waktu ini didasari oleh beberapa alasan antara lain yaitu untuk menghindari keletihan dari peserta yang bisa menyebabkan pingsan di tengah pawai, dan memungkinkan variasi kostum yang bisa menampilkan kerlap-kerlip cahaya lampu kecil. Ada beberapa pro dan kontra mengenai pemindahan waktu tersebut, ibu Suparmi salah seorang warga Solo yang sebelumnya pernah menyaksikan gelaran SBC berujar, “Mendingan siang nontonnya bisa lebih jelas. Soalnya kan ada beberapa orang yang kalau malam penglihatannya sudah menurun seperti saya ini.” Sementara itu ibu Sri Mulyani, yang keponakannya ikut serta dalam SBC #4 mengatakan, “Enakan malam, lebih adem. Soalnya kalau siang panas banget, kasihan yang ga tahan sama panasnya Solo.” Terlepas dari pro dan kontra mengenai pemindahan waktu, gelaran SBC #4 sendiri dimulai tepat pada waktunya yaitu pukul 19.00 WIB. Sejak awal saya sudah bersiap-siap di baris terdepan penonton, alasannya sederhana : tinggi badan saya tidak mendukung untuk menonton dari baris belakang. Selama 10 menit pertama, penonton masih bisa dikatang tertib, indikatornya adalah posisi saya yang masih ada di baris terdepan, namun 5 menit berselang saat barisan remaja usia SMA yang memakai kemben lewat, posisi saya sudah menjadi di tengah barisan. Untuk diketahui, saya tidak mengubah posisi selangkah pun, namun barisan penonton di belakang sayalah yang mengkudeta posisi saya. Barisan penonton yang berada di seberang saya lebih beringas lagi, posisi terdepan mereka ada di garis tengah pembatas Jalan Slamet Riyadi yang lebarnya sekitar 10 meter. Sementara barisan saya, penonton terdepan hanya berjarak sekitar 1 meter dari garis tengah. Alhasil saya harus berjinjit untuk bisa menonton para peserta pawai, yang mana sangat membikin kaki ini pegal. Yang membuat lebih parah lagi adalah para fotografer yang dengan egois berada di tengah-tengah barisan peserta untuk mendapatkan sudut gambar yang apik. Sampai-sampai ada beberapa petugas pengatur barisan yang secara keras menegur mereka, dan tak ketinggalan pula ada penonton yang meneriaki mereka dengan kebanyakan dari mereka adalah penghobi fotografi biasa (dilihat dari tiadanya tanda pengenal jurnalis di dada mereka), sehingga keberadaan mereka jelas mengganggu orang lain yang ingin menikmati pawai. Berhubung kaki saya pegal saya dengan putus asa mundur sampai ke trotoar dan mencari tempat pijakan yang untungnya kemudian saya temukan. Meskipun kemudian bisa menyaksikan dengan cukup jelas, tetapi bagi saya kenikmatan menonton SBC #4 yang saya dambakan sangatlah berkurang. Sebuah acara yang terkonsep dengan sangat baik, kostum-kostum yang inovatif, kreatif, dan gemerlap, formasi yang (seharusnya) tertata baik dirusak oleh ketidaktertiban penonton. Jatah peserta pawai yang semula seluas sekitar 5 meter, menyusut tajam jadi hanya seluas 2 meter, dan bahkan ada yang bilang saat mendekati akhir pawai para peserta harus berjalan satu per satu karena sempitnya jalan yang bisa dilalui. Sempat terpikir ole saya bahwa SBC selanjutnya saya ingin membeli tiket VIP sehingga bisa menonton dengan nyaman, namun niat itu kemudian saya urungkan karena mempertimbangkan keberingasan dari penonton yang akan terjadi lagi tahun depan. Bisa-bisa sudah keluar uang cukup banyak, saya hanya akan menyaksikan kerumunan penonton bukannya peserta pawai dengan kostum-kostum yang cantik . Bagaimanapun saya tetap mengapresiasi gelaran SBC #4 tersebut. Saya kagum bagaimana dalam waktu 4 bulan saja para peserta pelatihan bisa merancang kostum yang begitu kreatif nan cantik, bagaimana para kelompok peserta yang berisi gadis-gadis remaja berkemben hanya punya waktu kurang dari seminggu untuk mempersiapkan diri, bagaimana panitia bisa menghadirkan Putri Indonesia untuk ikut serta dalam pawai, dan yang paling saya kagumi adalah kesediaan walikota dan wakil walikota Solo, Joko Widodo dan Hadi Rudyatmo, untuk ikut serta meramaikan gelaran SBC #4 dengan cara berjalan kaki, telanjang kaki pula! Sebuah hal yang langka bagi saya, karena setahu saya umumnya jika ada seorang pemimpin ikut dalam acara sejenis sekalipun biasanya ia akan naik kendaraan, enggan capai berjalan kaki apalagi dengan telanjang kaki sejauh berkilo-kilometer. Malam itu saya jadi paham betul mengapa warga Solo begitu mencintai pemimpinnya. Bravo SBC! Bravo Solo! Semoga kedepannya gelaran SBC bisa semakin baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H