Lihat ke Halaman Asli

Kegagalan Program-program Kerakyatan

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KEGAGALAN PROGRAM-PROGRAM KERAKYATAN

Oleh: Sherr Rinn


Banyak sekali program kerakyatan yang ditawarkan oleh pemerintah maupun elit-elit dan partai-partai politik apalagi pada saat pemilu yang belum lama berselang. Program-program kerakyatan yang akrab di telinga masyarakat di antaranya pendidikan dan kesehatan gratis, PNPM untuk memodali usaha kecil, BLT dan sebagainya. Program kerakyatan ini sudah bukan hal yang luar biasa dan istimewa bagi rakyat, karena seringnya dijajakan dalam Pilkada maupun Pilpres. Pada kenyataannya program ini lebih banyak menemui kegagalan atau dilaksanakan setengah-setengah.

Program kerakyatan merupakan implementasi dari jargon ekonomi kerakyatan yang selalu diklaim oleh pemerintah sedang dijalankan di Indonesia. Kemudian dikampanyekan di media sedemikian rupa untuk menimbulkan opini publik bahwa memang benar pemerintah maupun kandidat sedang berpihak kepada rakyat. Benarkah demikian?
Tidak Konsisten
Banyak contoh yang justru mengatakan sebaliknya. Sebut saja pendidikan gratis yang dibatasi hanya sampai 9 tahun. Gratisnya pun hanya SPP karena kebanyakan siswa harus membeli sendiri buku-buku dan perlengkapan sekolah. Dan sisi lain pemerintahan SBY yang hari ini terpilih lagi dengan wapres yang berbeda, telah melepaskan tanggung jawab negara terhadap dunia pendidikan dengan mensahkan UU BHP. UU ini merupakan kelanjutan dari PP 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi yang sudah terbukti membuat biaya pendidikan semakin mahal di berbagai kampus yang mempraktekkannya. BHP lebih parah lagi karena juga mengizinkan swasta untuk berinvestasi tidak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga sekolah. Motif perusahaan swasta dalam berinvestasi sudah jelas, yaitu mengeruk keuntungan. Akhirnya, pendidikan menjadi mahal dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya saja. Meski UU BHP telah dibatalkan oleh MK, namun pemerintah sudah mengeluarkan Perpu dengan maksud dan tujuan semula: Komersialisasi Pendidikan.
Kesehatan juga sama mahalnya, kalaupun ada istilah berobat gratis namun prosedurnya berbelit-belit, dan hanya terbatas untuk sakit yang ringan-ringan. Biaya kesehatan tidak mungkin murah sementara untuk menempuh pendidikan kedokteran, mahalnya bukan main. Pantas saja jika kasus gizi buruk merebak di mana-mana, termasuk di Sulteng yang kaya akan sumber daya alam, namun hanya diperuntukkan kepada korporasi-korporasi asing.
Pendidikan dan kesehatan adalah syarat mutlak yang diperlukan untuk membangun tenaga produktif rakyat. Penguasa yang merebut hak-hak dasar rakyat ini, artinya sedang menjerumuskan rakyat ke lembah kebodohan dan kemiskinan. Kelanjutan dapat disaksikan sendiri, Indonesia sedang dalam proses penghancuran tenaga produktif.
Sama halnya kebijakan pemberdayaan usaha kecil dan menengah yang dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan modal sangat tidak sejalan dengan kebijakan liberalisasi impor. Barang-barang impor yang kualitasnya lebih bagus dengan harga bersaing telah menghancurkan industri dalam negeri. Pembangunan industrialisasi nasional, sekali lagi, juga terbentur pada lemahnya tenaga produktif.
BLT, Raskin, dan PNPM sebagai program ‘belas kasihan’ sama sekali tidak mendidikan dan memperbaiki keadaan kesejahteraan rakyat. Program in justru tidak tepat sasaran dan memunculkan ladang korupsi baru.
Anggaran yang besar dialokasikan untuk pembayaran utang luar negeri dengan porsi sekitar 30-31% dari APBN. Utang Indonesia saat in terus membengkak yang sudah mencapai 1700 T, jumlah utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang tidak akan mungkin lunas kecuali dengan kehendak massa untuk memperjuangkan penghapusan utang luar negeri. Lagipula hasil rampokan korporasi asing di Indonesia jauh lebih besar daripada jumlah utang Indonesia. Selama ini utang digunakan sebagai instrumen utama untuk menjerat Indonesia agar patuh menjalankan kebijakan neoliberal.
Mengapa Demikian?
Suatu kebijakan ekonomi haruslah didukung dengan struktur politik yang merupakan karakter dari basis ekonominya. Program-program kerakyatan tidak akan mungkin diwujudkan jika tidak ada Dewan Rakyat sebagai struktur politiknya. Bukan Dewan Perwakilan Rakyat seperti yang ada sekarang. Demokrasi perwakilan yang diselenggarakan melalui mekanisme pemilu secara langsung 5 tahun sekali tidak akan dapat mensejahterahkan rakyat. Karena parlemen tidak lebih dari dewan-dewan perwakilan tanpa kontrol dari rakyatnya. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang meliberalisasi ekonomi sesuai dengan kepentingan para pemodal asing.
Dewan Rakyat merupakan perwujudan dari demokrasi kerakyatan yang dibentuk di semua teritori dari yang terkecil (desa, kampung, RW) hingga ke tingkat pusat. Dewan Rakyat tidak sekedar bersidang, tetapi juga memiliki kekuasaan eksekutif. Presiden adalah bagian dari dewan rakyat secara nasional. Setiap individu di setiap teritori harus bergabung dengan dewan-dewan rakyat yang ada untuk bersama-sama merumuskan kebijakan ekonomi dan politik. Dewan Rakyat di bawahnya berhak untuk merecall langsung anggota dewan rakyat yang di atasnya. Tidak hanya itu, semua jabatan publik dipilih langsung dan tidak konstan, tidak ada pejabat negara yang menduduki jabatannya secara permanen.
Dewan Rakyat hanya bisa terbentuk dengan perjuangan rakyat itu sendiri melalui organisasi-organisasinya sendiri yang tidak terkooptasi oleh elit. Perjuangan yang muncul karena penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh negara dan modal. Organisasi rakyat dibangun dengan penyelenggaraan pendidikan-pendidikan penyadaran yang revolusioner untuk memblejeti hegemoni negara; dengan aksi-aksi bersama; budaya maju (budaya melawan, anti feodal, selebaran, belajar) dalam wadah-wadah rakyat di semua teritori sebagai cikal bakal dari Dewan Rakyat. Artinya, organisasi rakyat adalah sekolah alternatif untuk rakyat dengan berupaya menghilangkan strata berpengetahuan dan tidak berpengetahuan di organisasi.
Pada awalnya, organisasi rakyat memang hanya dipenuhi oleh pelopornya. Namun sejalan dengan dinamika organisasi; jumlah anggota yang bertambah; organisasi terus meluas; pembangunan tenaga produktif kader, organisasi rakyat adalah milik massa. Pelopornya sendiri harus dengan rendah hati menerima kemajuan-kemajuan massa yang menjadi semakin berkesadaran revolusioner.
Dewan-dewan Rakyat yang saat ini ada di Venezuela, Kuba, Porto Alegre (Brazil) yang telah memberikan kesejahteraan kepada rakyat tidak jatuh dari langit tetapi melalui proses perjuangan yang panjang, terorganisir dan revolusioner.
Palu, 07 Agustus 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline