Bagaimana kita mengetahui segala sesuatu yang kita ketahui? Bagaimana kita tahu kalau api membakar dan es mampu membekukan? Jawabnya ada pada ‘bukti’. Bukti hadir melalui kemampuan kita dalam melihat, mendengar, mencium, merasakan dan lainnya. Kita percaya api dapat membakar karena melihat gulungan kertas berubah menjadi abu dalam hitungan saat. Kita percaya api bersifat panas setelah bersentuhan atau berada sangat dekat dengannya. Namun bukti tidak mesti hadir sebagai sesuatu yang primer. Seorang detektif dapat memecahkan satu kasus pembunuhan meskipun tidak menjadi saksi langsung dalam kejadian itu. Melalui sidik jari yang tertinggal pada gagang golok dan olah lokasi lain, sang detektif dapat merekonstruksi kejadian yang tidak dilihatnya dan menemukan si pelaku. Pengajuan bukti menjadi cara kerja utama sains. Seorang saintis mesti mendasarkan penemuannya pada bukti. Bukti ini mesti dapat diverifikasi dan mampu bertahan dari kritik dan pertanyaan, yang jika terjadi sebaliknya, akan berakibat pada runtuhnya tesis sang saintis. Sesuatu yang sesungguhnya wajar karena dengan inilah sains berkembang plus tesis saintis memang bukan sesuatu yang sakral. Namun bukan berarti sains tidak memberikan ruang pada dugaan -anggap saja sebagai sesuatu yang diametral dari bukti. Justru menduga adalah bagian awal kerja saintis. Dugaan awal ini kita kenal sebagai hipotesis. Melalui hipotesis, saintis dapat menyusun prediksi atau sederet kemungkinan atas apa yang mungkin terjadi. Dugaan -atau katakanlah inspirasi- tetap mempunyai tempatnya dalam sains, namun porsinya hanya sebatas memberi landasan pada asumsi dasar dimana asumsi ini mesti tetap harus dibuktikan. Dugaan akan memberikan ilustrasi mengenai jalan menuju eksperimen atau memberikan sense apakah dugaan ini pantas ditindaklanjuti dengan ekperimen atau tidak. Malalui bukti maka ‘konsensus’ dapat diraih. Bandingkan dengan ‘kepercayaan’ yang tidak mengenal kata putus bahkan memicu perselisihan. Kepercayaan tidak mudah diverifikasi karena didasarkan pada sesuatu yang ’subjektif’ dan ‘tak empiris’.[] http://syafrilhernendi.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H