Lihat ke Halaman Asli

Sherly Ros

live is free

Kritik Film Dua Garis Biru

Diperbarui: 11 Maret 2021   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pasti kita tidak asing lagi dengan film Dua Garis Biru. Film Dua Garis Biru ini dirilis pada tanggal 11 Juli 2019. Film ini di sutradarai oleh Gina S. Noer. Sebelum dirilis banyak kontroversi yang terjadi, banyak yang berfikir bahwa film ini tidak pantas untuk ditonton karena mengandung hal-hal yang negatif setelah melihat trailer dari Film tersebut. Tetapi Gina S. Noer berhasil membuat reaksi negatif orang-orang yang menganggap film ini tidak pantas untuk di tonton menjadi pantas. 

Film ini dibintangi oleh Angga Aldi Yunanda, Adhisty Zara, Cut mini Theo, Lulu Tobing, Dwi Sasono dan para pemain artis ternama lainnya. Dua Garis Biru ini berkisah tentang Bima (Angga Aldi Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara) adalah sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA. Mereka adalah remaja yang masih labil dengan kehidupannya. Mereka memiliki status sosial dan akademis yang jauh berbeda. Pada usia 17 tahun, mereka nekat bersanggama di luar nikah yang menyebabkan Dara hamil di usianya saat ini. Mengingat ambisi Dara yang ingin berkuliah di Korea Selatan serta status mereka yang masih pelajar. Bima pun menyarankan Dara melakukan aborsi, namun Dara menolaknya. Keduanya kemudian dihadapkan pada kehidupan yang tak terbayangkan bagi anak seusia mereka, kehidupan sebagai orangtua.

Film ini menceritakan kehidupan yang nyata sekali pada zaman sekarang ini. Apalagi zaman sekarang banyak sekali pergaulan seks bebas yang terjadi. Dari Film ini banyak sekali makna yang dapat kita ambil, hanya saja orang banyak yang tidak memahami makna yang tersirat sehingga disalahpahami oleh yang laiinya. Banyak orang yang mengganggap bahwa orang yang telah menonton film ini menjadi termotivasi untuk melakukan hal yang sama seperti Bima dan Dara. Mereka beranggapan bahwa apa yang dialami Bima dan Dara tidak seburuk yang mereka pikirkan dan membuat mereka mencobanya. 

Dari film ini ada beberapa adegan film yang membuat saya heran mengapa hal yang sangat penting malah dianggap sebagai lelucon, salah satunya saat kakaknya Bima yaitu Mbak Dewi pertama kali muncul, Mbak Dewi memarahi Bima di situ karena sikapnya dan menyinggung Bima bahwa sangat bodoh karena dia tidak memakai "kondom" dalam melakukan itu. Adegan tersebut seharusnya menjadi cukup serius untuk dibicarakan karena membawa pesan mengenai "kondom", tetapi sayangnya seakan-akan kata "kondom" dalam film ini adalah hal yang sepele dan dianggap sebagai hal yang lucu.

Film ini juga menggambarkan diskriminasi gender. Contohnya, hukuman sekolah terhadap siswi yang hamil di luar nikah, hingga penggambaran sulitnya menjadi perempuan hamil yang kerap disepelekan orang. Padahal sebenernya yang harus disalahkan tidak hanya perempuan saja lelakinya pun harus ikut disalahkan. Dan dalam film ini pun Dara yang merasa kebebasan dan Masa depannya untuk dapat menempuh pendidikan di Korea Selatan hilang begitu saja karena kehamilannya ini. Apalagi, hanya dia yang dikeluarkan dari sekolah. Tetapi Bima tidak dikeluarkan dan masih diperbolehkan untuk menuntut ilmu di sekolahnya.

Jadi intinya semua film itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan itu kembali lagi ke dalam penyikapan kita sendiri. Dalam film ini kita dapat belajar tentang sex educatiuon dan penting sekali peran orangtua dalam hal ini agar dapat memberikan pelajaran dan komunikasi untuk anaknya. Karena banyak sekali orangtua yang melarang anaknya melakukan banyak hal tapi tidak pernah mejelaskan nya yang membuat anak-anak menjadi lebih penasaran dan ingin mencobanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline