Sejak awal, UU Ciptaker ini sudat cacat prosedur. Pengesahannya dilakukan tidak transparan yang menimbulkan banyak kejanggalan terhadap masyarakat. Setelah pengesahannya pun masih ada saja kesalahan, seperti banyak kata-kata yang typo, beberapa UU yang tidak dicantumkan, jumlah halaman yang tidak pasti, draf yang berubah-ubah dan lainnya. Sampai, Selasa 3 November 2020 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja, masih terdapat typo. Logikanya, bila UU sudah disahkan berarti UU tersebut sudah besifat final.
Bila terus terjadi kesalahan, mengapa pengesahannya dilakukan secara terburu-buru? Bukannkah yang harus difokuskan pemerintah saat ini adalah wabah COVID-19 di Indonesia yang angkanya masih belum mengalami penurunan.
Seharusnya pemerintah mengikutsertakan masyarakan karena masyarakan juga punya peran penting untuk mengetahui dan mengkritiknya. Kesalahan itu yang membuat masyarakat kecewa dan turun lansung ke jalan. Mereka menolak Omnibus Law UU Ciptaker karena mereka merasa dirugikan apalagi para buruh. Jika mereka merasa dirugikan mereka juga punya hak untuk meminta apa yang seharusnya mereka dapatkan juga, sesuai pada UUD 1945 pasal 28D ayat 1 dan ayat 3.
Banyak yang ikut turun ke jalan, seperti para buruh, mahasiswa sampai para pelajar, mereka menuju kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu kelompok pelajar yang ikut turun ke jalan yaitu Federasi Pelajar Indonesia (Fijar). "Karena kami menyampaikan pendapat di muka umum sudah diatur dalam Pasal 28E UU 1945 Ayat 3 dan UU No. 9 Tahun 1998. Di undang-undang ini jelas bahwa tidak ada yang mengatur bahwa pelajar tidak boleh ikut aksi demonstran," tutur perwakilan Fijar, Zenry, Senin (16/11/2020). Ia mengaku tak gentar meskipun Kemendikbud sempat mengimbau agar pelajar tidak ikut demonstrasi karena dianggap belum cukup umur. "Dan jika kami melihat dari sejarah sebelum kemerdekaan, yang merebut kemerdekaan itu sendiri adalah pemuda," lanjut dia lagi.
Awalnya para demostran melakukan demo secara wajar, tetapi seiringnya waktu beberapa demostaran ini berujung ricuh dan bentrok dengan aparat kepolisian. Upaya yang dilakukan polisi untuk membubarkan para demostran ini ,seperti penembakan air, gas air mata dan water canon. Seharusnya polisi berpihak pada masyarakat, bukan pada para penguasa.
Namun ada beberapa oknum yang tidak ada hubungannya. Maksudnya oknum tersebut ikut turun ke jalan tanpa tau sebabnya. Mereka sangat bertentangan dengan norma hukum, mereka membuat kekacauan, seperti melempar batu kepada polisi, membakar mobil polisi, dan mengucapkan kata yang kasar kepada polisi. Tindakan oknum tersebut membuat para polisi marah sehinnga terjadinya aksi kekerasan antara poilisi dan para demonstran. Demonstran lain yang tidak ada hubunganya dengan mereka juga ikut terkena dampaknya.
Kericuhan tersebut sempat diabadikan lewat video yang direkam para demonstran laiinya. Beberapa video itu disatukan dan mereka posting dengan backsound " Kulihat ibu pertiwi.....". Seolah-olah mereka menunjukan kekerasan yang dilakukan oknum polisi kepada masyarakat tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi apa yang dilakukan polisi ini juga salah dengan melakuakan kekerasan.
Tetapi para oknum tersebut juga sampai merusak fasilitas. Salah satunya di Jakarta pada kamis, 8 Oktober 2020 mereka merusak sejumlah fasilitas mulai dari gedung perkantoran hingga halte Transjakarta. " Ada halte yang rusak total ada 11 ini akan diperbaiki semua. DKI yang akan dibiayai tadi sudah diperdiksi sudah dihitung kira-kira Rp 25 miliar," ucap Anies, Jumat (9/10/2020).
Seharusnya Pemerintah dalam membuat suatu rancangan mengikutsertaan rakyat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pemerintah juga seharusnya menerima kritikan dan pendapat dari rakyat yang sampai turun ke jalan. Jika seperti ini sma saja rakyat sudah kehilangan kepercayaan terhadap pepmerintah. Padahal ratyak sudah memberikan kepercayaan kepada pemerintah dengan memilihnya.
Keikutsertaan para pelajar juga patut dibanggakan bukan memandang rendah mereka. Mereka sebagai warga negara tau haknya dan mereka berani untuk berpendapat ketika mereka merasa hak dirugikan oleh para pemerintah.
Para oknum yang bertentangan dengan norma hukum seharusnya tidak usah ikut turun ke jalan dan mericuhkannya. Hal yang mereka lakukan itu hanya akan menambah masalah dan membuat kerugian. Para demonstran dan fasilitas umum yang terkena dampaknya. Dan rakyaklah yang mengalami kerugian itu sendiri bukan pemerintah.