Lihat ke Halaman Asli

Sherli Okta Shafira

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kedudukan dan Hak Perempuan di Minangkabau

Diperbarui: 12 Mei 2024   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pixabay.com

Sejak kemunculannya berabad abad yang lalu, Minangkabau menjadi salah satu suku atau etnis tertua dan terbesar di Indonesia. Seperti halnya suku-suku atau daerah-daerah lain, Minangkabau memiliki adat dan aturan tersendiri yang selalu dijaga turun temurun. 

Adapun di Minangkabau adat selalu beriringan dengan Agama Islam, sebagaimana kita ketahui banyak pahlawan-pahlawan kemerdekaan dari tanah minang beragama Islam seperti Tuanku Imam Bonjol, ini sesuai dengan semboyan adat basandi syara' syara' basandi kitabullah yang artinya adat berpedoman kepada syara' yaitu agama islam dan agama tentu berpedoman kepada kitabullah yaitu Al-qur'an. Lalu bagaimanakah adat di Minangkabau dalam menjaga dan mengatur hak-hak perempuan?.

Perempuan di Minangkabau disebut juga dengan padusi. Di Minangkabau perempuan sangat dijaga dan dihormati, sebagaimana kita ketahui untuk menghormati perempuan, Minangkabau menganut system matrilineal, yaitu garis keturunan yang dilandaskan kepada ibu. 

Budaya matrilineal di Sumatera Barat merupakan budaya yang kental dengan nuansa emansipasi dan ajaran feminis. Perempuan merupakan harta pusaka bagi suatu keluarga sehingga keberadaannya mendapatkan posisi yang sangat terhormat bagi masyarakat. Tak hanya itu untuk menghindari kdrt setelah menikah biasanya mempelai akan tinggal bersama orang tua sang istri.

Hak-hak feminisme perempuan bukan hal yang baru di Minangkabau, sejak dahulu perempuan tidak dilarang untuk tampil dan masuk dalam wilayah publik tidak hanya berkecimpung domestik rumah tangga saja tapi ikut dalam berpendapat untuk kaum dan suku, bahkan tercatat dalam sejarah perempuan juga memimpin dalam kaum yang dikenal dengan "bundo kanduang". Bundo kanduang merupakan bentuk representatif dari emansipasi Wanita serta perlindungan hak-hak perempuan dalam bermasyarakat seperti halnya para laki laki namun juga berlaku pada Perempuan.

Namun dalam prakteknya tetap saja banyak penyelewangan terhadap hak-hak perempuan, menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian penduduk dan KB (DP3AP2KB) Provinsi Sumatera Barat tercatat kasus kekerasan terhadap Perempuan dari tahun 2020 hingga tahun 2023 terus mengalami kenaikan hingga puncaknya sepanjang tahun kemaren tembus hingga 855 kasus, para pakar menilai kasus yang terjadi merupakan akibat minimnya sosialisasi terhadap Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta banyaknya pengaruh dari budaya barat sehingga menggeser budaya Minangkabau itu sendiri.

Oleh karena itu Upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi Kembali tentang pentingnya UU perlindungan anak dan Perempuan juga dengan perda nomor 7 tahun 2021 serta menanamkan Kembali nilai nilai budaya Minangkabau yang mulai pudar oleh budaya barat, agar kembali bisa menjaga dan menghormati hak-hak Perempuan yang sejak dahulu kala telah dijaga oleh para nenek moyang di Minangkabau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline